PALEMBANG, GESAHKITA COM—Sore hingga jelang Isa’ sempat gesah (bincang) kosong sama teman teman yang sama sama bekerja pada bidang masing masing. Tercetus diantara nya ngebahas sejarah serta tanah kelahiran, teori teori hingga ujung ujung nya suka berpindah pindah topik diskusi.
Sekilas dari pengamatan memang teman teman mengantongi pengalaman berbeda, lompatan dan pemikiran hingga bagaimana karakter terbangun dan terbentuk, jadi memang baik nya seperti itu seharusnya.
Nah bicara sejarah memang tak habis habis memenuhi topik dan tema bahan bisa digesahkan di gesahkita. Namun itu bukan berarti kita kita ini sekelompok orang orang yang tak bisa berdamai dengan masa lalu, semua kita bisa kok. Cuman yang sangat penting mengenang dan belajar dari sejarah itu sebagian bisa menambah khasanah berpikir mencari bahan banding (to Compare).
Dari sejarah juga kita belajar menjadi adil dan bijak tidak hanya dengan hal yang (wah..!) saja kita bakal dapat pelajaran yang buruk pun bisa kita jadikan pelajaran.
Tapi sudah lah.. ini terlalu melebar dari judul, tiga paragaraf diatas itu sebenarnya pembuka saja maksud nya biar gak terlalu menohok, karena yang terpenting itu tentang sejarah seseorang beken di abad 20 Amerika.
Bagi kamu yang belajar bahasa pasti tak asing dengan sosok ini, bukunya wajib bagi kami yang ambil jurusan bahasa.
Dia ini bernnama lengkap Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928; umur 92 tahun) adalah seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif.
Sehingga Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.
Kurun waktu lima dasawarsa ini, Chomsky menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh dunia dan menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Baris-baris kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.
Asal usul hingga Perjalanan hidup dan karier Chomsky
Tak salah memang ia dibesarkan di tengah keluarga berpendidikan tinggi, pasangan Dr William Zev Chomsky dan Elsie Simonofsky. Ayahnya dikenal sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani, yang disebut harian New York Times sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani terkemuka yang menulis sejumlah karya gramatika bahasa itu.
Kemudian semenjak usia 12 tahun, Chomsky sudah membaca salah satu karya berat ayahnya tentang tata bahasa Ibrani abad ke-13. Selain memperkenalkan bahasa dan warisan budaya leluhurnya, Yahudi, ayah Chomsky juga memperkenalkan tradisi intelektual yang kelak melekat dalam diri Chomsky.
Lahir dari seorang ayah yang mewarisi tradisi kebebasan intelektual, ibunya yang memiliki kecenderungan kekiri-kirian (antikemapanan) menekankannya pentingnya keseimbangan untuk bertindak sebagai pemikir yang sekaligus aktivis.
Sementara itu, sang paman, suami kakak ibunya, ikut memengaruhi arah watak intelektual Chomsky dengan memperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran terkemuka, Sigmund Freud dan berbagai aliran Komunis seperti Karl Marx, Stalinis, Trotskys, Leninisme dan yang lain-lainnya.
Toko Pamannya, yang menjual berbagai koran dan majalah di New York, menjadi tempat berkumpulnya para intelektual Yahudi di New York.
“Kelas pekerja Yahudi di New York memang berbeda. Intelektualitas mereka sangat tinggi, sekalipun sangat miskin. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki pekerjaan . Tapi mereka hidup di tengah lingkungan yang kaya secara intelektual. Saya pikir ini merupakan masa yang paling berpengaruh pada masa usia remaja saya.” kenang Chomsky.
Sudah sunter jadi perbincangan sosok Noam Chomsky yang kemudian sering disebut Chomsky dikenal sebagai tokoh intelektual yang berani “melawan arus” mapan (atau istilah populernya sebagai antikemapanan), baik terhadap kalangan kolega yang disebut-sebutnya sebagai “pembebek garis resmi kebijakan Amerika Serikat” ataupun para elite pemerintahan di Amerika Serikat. Tulisan dan artikelnya serta pendapatnya yang sering menyentakkan publik dan elite pemerintahan Amerika Serikat terutama dalam perspektifnya yang berbeda seputar peran Amerika Serikat di berbagai tempat di dunia mulai dari Nikaragua, Amerika Tengah, Vietnam hingga Timur Tengah.
Akibat pendapatnya yang sering berbeda dengan opini umum dan memberikan persfektif dan arti baru berbagai istilah dan peristiwa, mengundang serangan dari kalangan tertentu, dan pemahaman baru terhadap hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya pada kalangan lainnya.
Semua gagasannya yang mengundang kalangan penentang dan pendukung selalu ditampilkan secara berbobot.
Masalah antara jarak dan realitas dan pemaknaan media besar dalam berbagai kasus seperti “Perang Dingin”, Tatanan Dunia Baru,Demokrasi dan lainnya merupakan objek utama Chomsky.
Tanpa menyimpan rasa takut, ia berani terjun dalam berbagai opini yang selalu bertentangan dan berbeda, lalu mencari makna sebenarnya dalam gagasan yang saling bertentangan dan berbeda dan bahkan saling bertabrakan itu.
Menurut guru besar linguistik MIT ini, pandangan monolitik media-media besar yang tampil secara konsisten harus dicurigai sebagai upaya untuk mempertahankan status quo yang ada.
Sejumlah karya besar pun ia lahap dan menjadi inspirasi terbesar Chomsky untuk terjun ke lapangan ini adalah George Orwell dengan karya-karyanya yang memukau Chomsky sejak remaja. Novel “Animal Farm, 1984”, esai semacam “Language in the Service of Propaganda” atau “Homage to Catalonia”, merupakan sedikit dari deretan karya Orwell yang memengaruhi Chomsky.
Chomsky bahkan gemar membandingkan dirinya dengan novelis itu. Untuk mencari kebenaran sejati, Orwell berkelana dari satu tempat ke tempat lain demi memperoleh informasi dari tangan pertama. Sedangkan Chomsky mengeksplorasi kebenaran itu dari buku dan khasanah teks yang ia baca. Hal ini dibarengi dengan kegemarannya di masa kecil, membaca seri ensiklopedi Compton.
Seperti halnya ditulis dalam buku Noam Chomsky, “A Life of Dissent” yang ditulis oleh Robert F. Barsky, asisten guru besar Sastra Inggris di Universitas Western Ontario Kanada, yang disebut-sebut sebagai buku biografi intelektual dan politik Chomsky, Chomsky sempat bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang mendorong beremigrasinya kaum Yahudi Amerika ke negeri harapan yang baru dibentuk, Israel.
Ia memang tidak secara resmi terdaftar sebagai organisasi Yahudi berhaluan kiri seperti Avukah yang mendorong berdirinya negeri “binasional” (Arab-Yahudi) di Palestina. Tapi karena persentuhannya dengan kelompok-kelompok tersebut, keinginan untuk tinggal di Israel sempat terlintas di benaknya.
Kemudian pada saat tercatat sebagai anggota Harvard’s Society Fellow, berdua dengan istrinya, Carol, ia mengunjungi negeri itu pada tahun 1953. Mereka tinggal di kibbutz, pemukiman baru Yahudi di Palestina selama kira-kira enam minggu.
Dia menggambarkan lingkungannya itu sebagai suatu tempat yang miskin, hanya sedikit makanan dan yang lebih penting lagi: “Benar-benar sesuai dengan lingkungan ideologis”.
Yang terakhir itulah yang kemudian merisaukannya. Bagi Chomsky, adalah tidak mudah menerima lingkungan yang dia sebut sebagai eksklusif dan rasis tersebut.
Disaksikan nya sendiri, ketika ia berada di sana, Chomsky melihat bagaimana masyarakat non-Yahudi terpinggirkan, terancam dan mengalami ketakutan. Pengalaman inilah, yang menunjukkan standar ganda keadilan, membuat Chomsky merasa ragu akan perlunya membentuk negara Yudaisme untuk etnik Yahudi.
Pada masa berikutnya, Chomsky malah dikenal sebagai salah satu intelektual Amerika Serikat yang berani berkonfrontasi secara langsung, menentang pencaplokan Israel atas tanah Palestina. “Satu tanah dengan dua negara, ini merupakan esensi utama masalah Israel-Palestina” katanya dalam buku The Chomsky Reader.
Watak kritis ini sebagai ahli linguistik yang banyak menulis soal-soal politik internasional, selain dibentuk oleh banyak gagasan yang memengaruhinya, juga dibentuk dari bidang yang ditekuninya,Cartesian Linguistics.
Menurut Chomsky, sekali ia menerima perspektif Cartesian dalam bahasa, pada tahap berikutnya ia harus mendukung hak alami manusia dan melawan segala macam bentuk otoritarianisme yang menindas manusia.
Keterlibatannya dalam aktivisme politik merembet tidak cuma sebatas menulis artikel. Ia pun mengirim petisi dan memprotes berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggapnya menindas negara lain.
“Saya menyadari bahwa mengirim petisi, menumbang uang, mengadakan pertemuan itu tak cukup. Saya berpikiradalah penting jika kita ikut ambil bagian secara lebih aktif….dan saya sadar benar apa akibatnya,” kata Chomsky.
Oleh karena gagasan-gagasannya yang radikal mengenai berbagai soal kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu, namanya sempat masuk dalam daftar musuh Gedung Putih pada masa pemerintahan Richard Nixon.
Ia pun pernah ditangkap dan diinterogasi petugas keamanan karena gagasan-gagasannya itu, yang kemudian pernah membuatnya bertanya-tanya, apakah dia tinggal di Amerika atau di negeri lainnya.
Kendati begitu, ia terbilang tidak kenal jera. Ia bahkan menyebutnya sebagai akibat tanggung jawabnya sebagai intelektual.
“Bertrand Russell dan Albert Einstein sama-sama dikenal sebagai intelektual hebat. Keduanya sepakat bahwa bahaya tengah mengancam umat manusia. Tapi mereka memilih jalan yang berbeda untuk meresponsnya.
Einstein hidup dengan enak di Princeton dan mengabdikan dirinya semata-mata untuk riset seraya sesekali menyampaikan orasi ilmiah, sementara Russell memilih melakukan demonstrasi di jalan,” kata Chomsky yang memasang foto Russell di ruang kerjanya di MIT.
“Ingin tahu hasilnya? Russell dikutuk sementara Einstein dipuji selangit seperti laiknya malaikat. Apakah itu semua mengejutkan kita? Tidak,” kata Chomsky yang sadar benar akibat dari pilihannya.(wiki)