PALEMBANG, GESAHKITA COM–Sekjen Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS), Dedek Chaniago selaku penyambung informasi dari Dzuriyat Kiyai Marogan menunjukkan bukti-bukti sah kepemilikan tanah Pulau Kemaro saat menggelar keterangan pers di Sekretariat KRASS, Jumat, (05/03/2021).
Dedek menerangkan Dzuriyat Kiyai Marogan atau bernama asli Mgs Abdul Hamid mengingatkan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang tentang status seluruh tanah Pulau Kemaro yang luasnya 87 hektar dimana 30 hektarnya kini digadang-gadang Pemkot Palembang sebagai kawasan wisata air berkonsep Kerajaan Sriwijaya.
Ternyata pemilik sah dari lahan tersebut adalah Kiyai Marogan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No: REG.3863K/PDT/1987.
Karena itu lah, kata Dedek, “ kami mengingatkan Pemkot Palembang jangan tutup mata dengan bukti yang sah. Sebelum Dzuriyat masuk permohonan eksekusi, Pemkot harus bicara baik-baik, koordinasi , kami juga konfirmasi dengan PU PR dan mereka akan menyampaikan kepada pemerintah,”
Dedek menjelaskan bahwa pada tahun 2014 lalu pihak Dzuriyat sempat melakukan somasi dan dilakukan musyawarah namun hingga saat ini belum ada titik terang.
Jika hal ini terus dibiarkan saja tanpa ada koordinasi dari Pemkot ke Dzuriyat maka hal ini akan diajukan ke eksekusi pengadilan tanah di Pulau Kemaro. Langkah ini dilakukan dengan terpaksa agar tak ada aktivitas di tanah yang sedang proses eksekusi.
“Pihak Dzuriyat tak mempermasalahkan jika ingin difungsikan Pulau Kemaro namun dengan melihat sejarah Pulau Kemaro apakah bisa dijadikan museum, atau di jadikan Benteng Pertahanan Kesultanan Palembang dengan konsep tempat wisata air, silahkan koordinasi dengan Dzuriat,” katanya.
Dedek juga mengungkapkan, bahwa sebelumnya tepatnya pada tahun 2014, pada era Walikota Palembang H Romi Herton (Alm), Pemkot pernah disomasi oleh Dzuriyat Kiyai Marogan yang salah satu isinya, agar jangan pernah membangun di Pulau Kemaro sebelum hak dari Dzuriyat Kiyai Marogan dipenuhi .
“Pak Romi Herton bilang tidak perlu ke pengadilan kita selesaikan secara musyawarah. Dan pada waktu itu terjadi musyawarah sebanyak dua kali namun tidak mendapatkan hasil, karena juga keburu ada Pemilihan Walikota, akhirnya terbengkalai Pulau Kemaro, kenapa diungkit karena Pemkot mau garap Pulau Kemaro tanpa konfirmasi dari Dzuriyat Kiyai Marogan,” kata Dedek, masih dalam temu Pers nya itu.
Dedek memastikan Dzuriyat Kiyai Marogan tidak ingin lagi terbuai di PHP (Pemberi Harapan Palsu) oleh oleh Pemkot Palembang seperti selama ini yang terjadi.
“Begitupun dengan Klenteng, begitu dengan yang garap tanah, begitu Bungalow, semuanya masuk dalam gugatan permohonan eksekusi tanah Pulau Kemaro ke pengadilan jika tidak ada titik temu nantinya,” katanya.
Sementara dari yang ada menurutnya Kiyai Marogan atau Mgs Abdul Hamid yang lahir pada tahun 1236 H atau 1802 M merupakan nasab dari Sultan Abdul Rahman Pertama Kali di Palembang dan masuk dalam silsilah keturunan Rosululloh SAW ke 34.
Dari catatan dokumen lahan yang ditulis aslinya berbahasa arab kemudian diterjemahkan bahasa Indonesia.
Salah satu nya dinyatakan pada tahun 1881 Kiyai Marogan membeli tanah dari Adjidin, dan pada tahun yang sama meminta lima orang yang dipercaya untuk menunggu dan mengolah tanah tersebut dengan dibuktikan surat perjanjian. Namun dalam perjalanan waktu tanah tersebut ingin dikuasai kelima orang itu.
Sehingga pada pada tahun 1985 ketiga cucunya menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang dan diputuskan tanah tersebut merupakan hak milik Kiyai Marogan.
Bahkan, kelimanya sempat melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT), namun putusan PT menguatkan putusan PN. Bahkan hingga ke tingkat kasasi pada 1987 ke Mahkamah Agung putusannya menguatkan putusan PN.
Tidak sampai disitu, tanah milik Kiyai Marogan sempat ingin diserobot oleh PT Intan Sikunyit dan menggugat putusan 1987 karena ada ada Hak Guna Bangunan (HGB) namun putusan hakim hanya menangguhkan eksekusi bukan membatalkan putusan Mahkamah Agung.
Akhirnya pada tahun 2004, Dzuriyat Kiyai Marogan memasukkan surat penawaran surat ganti rugi ke klenteng namun tak ditanggapi.
Lebih lanjut, sehingga ketika itu Dzuriyat mematok tanah tersebut. Saat itu, pihak klenteng sempat melaporkan ke polisi namun ketika ditunjukkan bukti sah maka polisi akhirnya tak menanggapi laporan pihak klenteng.
Selanjutnya pada tahun 2004 Pemkot Palembang mematok tanah tersebut lewat RT, Lurah dan agraria dengan dalih telah memiliki surat jual beli pada tahun 1957 dari Oesman dan ternyata setelah dicek nama Oesman tak masuk dalam Dzuriyat Kiyai Marogan. Oesman pun disebut-sebut merupakan mafia tanah.
Lalu pada tahun 2014, dzuriyat melakukan somasi ke Pemkot Palembang dan ketika itu Pemkot akhirnya merespon dan menyebutkan bahwa jika memang tanah tersebut memiliki bukti sah oleh Kiyai Marogan di musyawarahkan saja dan tak perlu hingga masuk ke pengadilan.
Namun hal itu kandas bukan solusi atau koordinasi yang didapatkan Dzuriyat, hingga kini pun pihak Pemkot tak menindaklanjuti dan terus melakukan kebijakan seperti akan membangun tempat wisata air dan sebagainya.(irfan/goik)