JAKARTA, GESAHKITA COM—-Bagi sebagian sangat tidak asing dengan Pengarang Dorothea Rosa Herliany yang merupakan pengarang wanita yang sangat produktif. Ia dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Setelah tamat Sekolah Dasar Tarakanita Magelang, Dorothea melanjutkan ke SMP Pendowo Magelang.
Setelah itu, Dorothea melanjutkan ke SMA Stella Duce Yogyakarta. Lulus dari SMA Dorothea meneruskan ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Dorothea Rosa Herliany pernah menjadi wartawan dan guru. Ia juga pernah menghadiri pertemuan sastrawan muda Asean di Filipina (1990) dan menjadi peserta dalam Festival Puisi Indonesia Belanda di Jakarta dan Rotterdam, Negeri Belanda (1985).
Sebagai seorang penulis, Dorothea telah menulis sejak tahun 1985 di berbagai majalah dan surat kabar, antara lain di Horison, Basis, Dewan Sastra (Malaysia), Suara Pembaharuan, Mutiara, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, Citra Yogya, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Kalam, Republika, Pelita.
Sebagai seorang sastrawan, Dorothea mempunyai peranan yang cukup penting. Hal itu terlihat dari karya-karyanya yang hampir selalu mengutamakan tanggapan penulis lain. Korrie Layun Rampan mengatakan bahwa Dorothea merupakan penyair yang sangat mengejutkan karena produktivitasnya yang luar biasa. Hampir semua media masa yang memiliki ruang sajak selalu memuat sajaknya sepeti dilansir dari ensiklopedia kemendikbud go id
Termasuk juga karya karya nya dalam bentuk cerita cerita pendek, esai, dan laporan budaya yang ditulisnya cukup menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan lain di luar dunia sajak. Wawasannya yang cukup luas dan visi kepenyairannya yang mantap telah mengukuhkan dirinya sebagai penyair yang mempunyai masa depan yang cerah. Beberapa puisinya mengandung suatu gerak hidup, percikan api yang berpijar, tetapi dalam pengucapannya terasa dingin dan asosiasinya yang begitu cepat bersilangan membawa imajinasi berpacu untuk mengejar makna imajinatif.
Sebagai puisi imagis, sajak-sajak Dorothea menunjukkan sifat lirik yang khas, yaitu lirik prosa. Lucianus Bambang Suryanto mengatakan mengatakan sebelum Dorothea Rosa Herliany muncul dalam pergumulannya di dunia sajak, ia dikenal orang secara terbatas. Akan tetapi, begitu sajak-sajaknya dipublikasikan, eksitensi kepenyairannya dan identitas pribadinya menjadi tanda bahwa ia sungguh orang yang sangat kreatif.
Penyair kelahiran Magelang ini dapat dikatakan belum lama muncul, sedangkan karyanya sudah bertebaran di banyak tempat. Dengan kata lain, masa mempersiapkan dan mematangkan diri telah lama dilaluinya. Nyanyian Gaduh (1987) merupakan kumpulan sajaknya yang pertama. Joko Pinurbo mengatakan Dorothea Rosa Herliany dalam menulis sajaknya “Nyanyian Gaduh” selalu mengeksploitasi kesunyian.
Hal itu dilakukannya bukan sekadar untuk kesentimentilan belaka, tetapi dibedah dalam upaya untuk menemukan hakikat kesunyian itu sendiri. Dalam sajaknya “Sepenggal Syair tentang Ombak”, ia menulis mungkin bisa kutemukan makna sunyi lebih fitri, ingin kuyakini bahwa dalam kegaduhan itu bisa kutemukan juga arti diam lebih sempurna.
Di sini Rosa memang belum merumuskan apa sebenarnya makna kesunyian itu. Akan tetapi, setelah selesai membaca buku ini terkesan bahwa di dalam kesunyian dan kesepian itu kemungkinan akan berlangsung dialog, percakapan atau pergaulan yang intens dengan diri sendiri.
Dapat juga dikatakan penyair di dalam sajaknya “Nyanyian Gaduh 4”: kita dengar gaduh igauan sendiri; dalam bahasa prosanya mungkin berbunyi demikian: kita dengar suara-suara bawah sadar, suara-suara dari jurang jiwa kita sendiri. Karya sastranya yang sudah terbit, antara lain Nyanyian Gaduh (kumpulan sajak, 1987), Matahari yang Mengalir (kumpulan sajak, 1990), Kepompong Sunyi (kumpulan sajak, 1993), Pagelaran (kumpulan cerpen, 1993), Guru Tarno (kumpulan cerpen, 1994), Cerita dari Hutan Bakau (kumpulan sajak, 1994), Vibrasi Tiga Penyair (ap, 1994), Blencong (kumpulan cerpen, 1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (kumpulan cerpen, 1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (kumpulan sajak, 1999).
Penghargaan yang pernah diperoleh Dorothea Rosa Herliany antara lain 1) sebagai pemenang I Penulisan Puisi Hari Chairil Anwar (1981) yang diselenggarakan SEMA Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yokyakarta; 2)sebagai pemenang I penulisan puisi Dies Natalis IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1985) dan Pemenang I Penulisan Puisi yang diselenggarakan Institut Filsafat & Theologia Yogyakarta; 3) juara I Penulisan Esai IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 2003, bersama Nh. Dini dan Ratna Indraswari Ibrahim, Dorothea menerima penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa.
Dorothea mengelola penerbitan Indonesia Tera di Magelang yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, antara lain Pengarang Telah Mati (kumpulan cerpen) karya Sapardi Djoko Damono.
Dibawah ini salah satu karya nya yang seperti nya sangat digemari Najwa Shihab, serta masih terpasang di dinding Akun Instagram Host serta Jurnalis Wanita Tersohor karena kerab melontarkan kritik tajam itu. Bagi kamu yang belum pernah membaca seperti apa karya Dorothea Rosa Herliany
Singkatnya simak yuk dibawah ini.
Sebuah Sajak Air Mata
Oleh : Dorothea Rosa Herliany
Jika begini
tidak lagi penting menangis atau terbahak
semua sama saja: bahwa kita berada
di antara ribuan fosil badut badut abad purba
kematian masa lalu masih jua dikaburkan
oleh lelucon-lelucon abad kini
engkau pasti tak punya kata-kata
tetapi tak penting lagi berkata-kata
udara ini hanya terbuka untuk segala omong kosong
kita jadi pendengar yang memilih tuli dan gagap
melupakan keyakinan pada bahasa nurani
kebencian pada kegoblokan cermin dan gambar sendiri
engkau pasti tak bisa menangis
buat apa?
sedang kita
tak lagi percaya airmata.
Taman Ismail Marzuki, Juli 1996
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Dorothea_Rosa_Herliany