Berita hari ini, Situs terpercaya dan terupdate yang menyajikan informasi kabar harian terbaru dan terkini indonesia.
Indeks
pilkada hut ri hut ri

Tentang Dedi Irwanto Muhammad Santun ‘Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’

PALEMBANG, GESAHKITA COM—‘Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’ secara tata bahasa 5 (lima) suku kata tersebut subjek kalimat nya tersenbunyi (hidden) dan dimilki semua orang.

Bisa saja jika  isi subjek nya SAYA, atau Kamu,  mungkin juga DIA, yang pasti Subjek kalimatnya bisa kata Benda (Naon) dan juga kata ganti Orang dan benda (Pronoun).

Namun karena nama yang masuk dalam tulisan ini sekaligus nama sosok Dedi Irwanto Muhammad Santun, seperti nya  ‘Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’ adalah terpaut sebagai subjek nya kelima suku kata tersebut bahwa ‘Dedi Irwanto Muhammad Santun Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’.

Tanpa dibahas sebenarnya semua orang pasti nya sudah mengetahui itu, karena kelima suku kata ‘Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’ ide yang keluar dari Dedi sapaan akrabnya ini, rasa rasa mengundang ingin tahu, sehingga muncul pertanyaan memang sejarah itu sunyi kah?

Atau sejarah tidak banyak diungkapkan orang? Atau kerja kerja sejarawan itu selalu mengungkap hal hal yang belum ada? Dan mungkin juga hanya sedikit saja orang yang mau masuk dunia sejarah atau memilih menjadikan jalan sebagai hidup nya yang kerab berbicara soal sejarah? Semua dalam situasi tertentu mungkin saja semua benar adanya.

Dan seperti hal nya banyak sejarawan  Dedi Irwanto Muhammad Santun juga dengan jujur saja menulis melalui pesan singkatnya bahwa  ‘Memilih Jalan Sunyi Bernama Sejarah’ adalah sebuah Analogi bagi  orang yang menekuni sejarah yang disadarinya tidak banyak, maka dia menganggap terkadang berada pada kesunyian, Minggu, (07/11/2021)

Dr. Dedi Irwanto SS MA
Dr. Dedi Irwanto SS MA

Dilihat dari Usia Dedi memang sepanjang umur 48 tahun lebih dengan pengalaman dan pendidikan yang ia tekuni bisa juga  termasuk sosok yang terbilang konsisten dan kuat dengan tekat yang telah tertanam diirinya semenjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah berani menulis impian dan ambisi nya saat ditanya bercita cita ingin menjadi apa?

Maka berangkat dari keingintahuan sangat besar anak seusia SMP itu tentang sejarah, dan waktu begitu cepat memproses apa yang ada dibenak Dedi belum lah genap remaja kala itu, ketika   ada peluang PMDK dari SMA Negeri 1 Pedamaran tahun 1993,  tanpa berfikir lama lama Dedi memilih S1 Sarjana Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sekilas bila dilihat pilihan yang tampak aneh, serta  banyak mengundang kernyit dahi banyak orang. Mau menjadi apa setelah menjadi sarjana sejarah tanya mereka ke Dedi atau bahkan sempat menanggung ejekan, maka pria kelahiran Pedamaran, Kabupaten OKI 25 Mei 1973 ini tidak mundur sejengkal pun dia sangat teguh dengan pendirian nya bahwa Kuliah Jurusan Ilmu Sejarah harus ia taklukan dan jadi lah itu langkah pertama nya menggeluti bidang sejarah hingga saat ini.

Dedi membeberkan tidak ada yang membisikan ke dirinya kalah itu jika harus berkuliah bidang sejarah di masa itu, tidak banyak saingan dalam memenuhi nafkah di bidang sejarah tersebut.

Namun faktanya, Dedi harus jauh jauh meninggalkan Ibu Kota Kelahiran dan Kampung halaman ia harus menyeberang Pulau ke Jogja dimana ia harus selesaikan S1,  sementara bukan berarti di Kota Pempek, Sumsel tidak ada perguruan tinggi Negeri, karena zaman kala itu Ilmu sejarah tidak terlalu menjadi prioritas Ilmu selain memang sangat minim peminat.

Maka wajar jika dia membuktikan bahwa sejarah Sumatera Selatan merupakan rimba belantara yang belum banyak dijamah. Hal ini disebabkan belum banyaknya orang yang mau berkutat sebagai penelitian sejarah.

Ternyata pilihan ini tak keliru. Setelah selesai S1 tahun 1998 sempat bekerja sebagai wartawan di Palembang Post sehabis kuliah. Kemudian meniti karier sebagai dosen sejarah di Universitas PGRI Palembang sejak tahun 1999.

Lalu begitu Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya membuka lowongan dosen. Yang bersangkutan diterima sebagai dosen PNS.

Jalan Sunyi Tetap Dijalani Dengan Menapaki Jejak Akademisi Membuka Gerbang Literasi Sejarah Sumatera Selatan

Dengan Menggenggam Prinsip hidup cukup sederhana saja sebenarnya, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. dan hari besok harus lebih baik dari hari ini, “  jenjang pendidikan S2 pun  di Ilmu Sejarah UGM pada  tahun 2005 dan mampu juga ia selesaikan pada tahun 2009.

Cover Buku Venice Dari Timur
Cover Buku Venesia Dari Timur

Tidak banyak yang mengetahui di kampus UGM kala itu Dedi percaya diri bahwa Sumatera Selatan tanah kelahirannya harus lah  ia suarakan. Maka Tesisnya pun dibukukan oleh penerbit Ombak Yogyakarta dengan judul Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial tahun 2011.

Ditanya Ke Dedi tentang apa yang melatari penulisan tesis nya dengan judul tersebut?

Keinginan nya untuk mengkaji lingkaran masa lampau tentang dunia ilir dan ulu di Sumatera Selatan. Sebab bagi Dedi adalah usaha analitis dalam melihat cermin diri kita yang beragam.

Disebutkanya juga Reflektif masa lalu ini merupakan keping fuzzle. Jika disatukan dengan baik akan menjadi arah kebijakan pembangunan daerah dan bernilai guna.  Di mana sentuhan sisi humanis menjadi lebih penting dibanding proyek-proyek fisik sebuah kota.

Garis Linier pendidikan pun tidak berhenti disitu, kemudian tahun 2014 Dedi kembali melanjutkan Studi S3 di Jurusan Ilmu Sejarah UGM. Wajar saja jika, Penelitian mendalam tentang Dominasi Ulu di Ruang Ilir dalam Pembentuk Cultural Citizenship di Kota Palembang pada masa kolonial menjadi Disertasi Doctoral Degree nya itu.

Meski dalam perjalanan tak semudah apa yang dibayangkan, sebab secara bahasa saja sangat rumit Dedi harus  menyentuh dan menggeluti arsip berbahasa Belanda dan koran-koran  pada masa kolonial.

Membuat studi Doktor harus ditempuh cukup lama dan selesai 7 tahun kemudian. Integritas penulis sejarah harus ditegakkan menjadi pemahaman utama dalam menyelesaikan lamanya pendidikan tersebut.

Berbekal suasana diskusi ilmiah di Yogyakarta. Begitu pulang di Palembang berusaha untuk menggalakkan penelitian dan penulisan sejarah dengan membentuk pusat kajian sejarah Sumatera Selatan (Puskass) Batanghari Sembilan Institute.

Pusat kajian ini lahir dari keprihatinan mendalam akan minimnya tulisan sejarah bermutu di Sumatera Selatan. Beberapa aspek yang jarang dibicarakan seperti persoalan sejarah multikultural dan etnisitas di Sumatera Selatan.

Adok Dan Masyarakat Komering

Mulai diteliti dengan menyusur kehidupan awal masyarakat Sumsel di masa marga. Marga dianggap sebagai pembentuk keberagaman etnis pada setiap aliran sungai Batanghari Sembilan di Sumsel. Penelusuran pertama dilakukan dialiran Sungai Komering untuk menjawab konsepsi awal dunia Komering.

Penelitian dengan terjun langsung di masyarakat aliran Sungai Komering ditambah naskah kuno dan kajian koran masa lampau mulai menemukan titik terang. Identitas Komering bersandar pada konsepsi adok yang harus dijunjung tinggi.

Adok ini memainkan peran sebagai pembentuk persaudaraan dan kekeluargaan lebih luas di masyarakat Komering. Setiap pemimpin, mulai dari keluarga, tiuh, dan marga memiliki sifat penyeimbang yang kuat untuk mengangkat harkat dan martabat orang Komering. Begitu sekolah pada masa kolonial dibuka dengan pemberlakuan diskriminatif.

Hanya anak Pesirah yang boleh bersekolah. Namun para penyeimbang di Komering berbeda. Semua warga marga Komering bisa bersekolah dengan menenteng label anak pasirah walau bukan anak titisan darah. Sehingga sejak masa itu orang Komering memenuhi pendidikan dan menjadi pejabat-pejabat mentereng sampai saat ini. Sayangnya, teori ini masih dalam bentuk draft buku hasil penelitian.

Tangkapan Layar Cover Buku Uluan dan Iliran (Sumber Goodread)
Tangkapan Layar Cover Buku Uluan dan Iliran (Sumber Goodread)

Menempuh jalan sunyi untuk menyuarakan masa lampau. Terus dikumandangkandengan menulis berbagai buku dan artikel sejarah bermutu tentang Sumatera Selatan. Paling tidak seperti Iliran dan Uluan: Dikotomi dan Dinamika dalam Sejarah Kultural Palembang, Oedjan Mas di Bumi Siriwijaya: Bank Indonesia dan Heritage di Sumatera Selatan, When the Ulu is in Ilir: Change in the Early Spatial City of, 1821-1870s, Political Culture and Political Symbolism of the Sriwijaya Kingdom in the Downstream over Its areas in the Upstream, Berebut Simbol-simbol Modern Kota PergumulanUlu dan Ilir dalam Ruang Pendidikan Kota Palembang asa Kolonial.

 

  1. Identitas Diri
  2. Nama Lengkap (dengan gelar) : Dr. Dedi Irwanto, S.S., M.A.
  3. Tempat dan Tanggal Lahir : Pedamaran (OKI), 25 Mei 1973
  4. Instansi : Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya
  5. Alamat Rumah : Griya Tiga Putri CB-11 Jalan PDAM, Bukit Lama, Ilir Barat 1, Palembang. Nomor HP : 0812-7422-5355 Alamat e-mail : dedi.irwanto@unsri.ac.id

Editor : Arjeli Sy Jr

Tinggalkan Balasan