JAKARTA, GESAHKITA COM— Meski Draft KTT Iklim COP26 Terbit kemudian muncul gesekan pendapat Negara Maju Versus Negara Berkembang.
Selain itu, sebelumnya produsen batu bara, minyak dan gas utama menunjukkan penentangan terhadap bahasa seputar bahan bakar fosil.
Hal tersebut menyusul yang mana Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menerbitkan draf kesepakatan ketiga hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia beberapa waktu lalu.
COP26 atau the 26th UN Climate Change Conference of the Parties adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di dunia.
Dilansir dari CNN International, draf yang dirilis Sabtu (13/11/2021) pagi tetap mengacu pada penghapusan batu bara secara bertahap dan mengakhiri subsidi untuk bahan bakar fosil, dengan langkah yang lebih dipermudah.
Rancangan tersebut mendesak banyak negara untuk dengan cepat meningkatkan penggunaan pembangkit listrik bersih, bersamaan dengan menghapuskan tenaga batu bara dan “subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.”
“Ini juga mengakui perlunya dukungan menuju transisi yang adil,” tambah draf tersebut. Kalimat ini membicarakan uang untuk mendukung pekerjaan dan mata pencaharian saat dunia menjauh dari bahan bakar fosil. Kedua tambahan membuat teks lebih terbuka untuk interpretasi daripada aslinya.
Beberapa sumber yang dekat dengan negosiasi mengatakan kepada bahwa delegasi Australia pada umumnya diam dalam pembicaraan tetapi menghalangi kemajuan seputar batubara dan bahkan langkah untuk memperbarui rencana emisinya pada akhir tahun 2022. Pada akhirnya, seorang delegasi Australia mengatakan dalam umpan balik sesi itu akan mengadopsi draf sebagaimana adanya.
Ada juga beberapa ketidakpuasan dengan bahasa tentang seberapa banyak dunia harus membiarkan Bumi menghangat dan aturan pasar karbon untuk menghindari penghitungan ganda pengurangan emisi, atau “kecurangan” pada kredit.
Sementara negara-negara berkembang kurang puas karena permintaan mereka untuk membentuk dana “kerugian dan kerusakan” khusus tidak ditulis dengan gamblang.
Sebagaimana diketahui, negara-negara kaya berencana akan membayar negara-negara berkembang untuk dampak krisis iklim, yang secara implisit mengakui peran besar negara-negara kaya dalam menyebabkan krisis iklim.
Isu tersebut telah mengadu negara maju dan berkembang satu sama lain, menjadi ciri khas konferensi COP.
Perdana Menteri India Narendra Modi bahkan sempat meminta negara-negara maju untuk menyediakan dana US$ 1 triliun atau setara Rp 14.286 triliun (asumsi Rp 14.280/US$).
“Adalah harapan India bahwa negara-negara maju di dunia menyediakan US$ 1 triliun sebagai pendanaan iklim sesegera mungkin,” kata Modi, sebagaimana dikutip dari Bloomberg.
“Keadilan akan menuntut agar negara-negara yang tidak memenuhi komitmen iklim mereka harus ditekan,” tambahnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh menteri lingkungan serikat pekerja India, Bhupender Yadav. Dalam pertemuan Negara-negara Berkembang yang Sepemikiran (Like-Minded Developing Countries/LMDC), delegasi India tersebut mengatakan pendanaan iklim tidak dapat berlanjut pada jumlah uang yang diputuskan pada 2009, yaitu US$ 100 miliar.
Beberapa negara berkembang ikut mendukung tuntutan India mengenai pendanaan pada KTT iklim COP26. Dana tersebut nantinya ditujukan untuk mendukung transisi energi guna mengurangi emisi gas rumah kaca.(cnbc/red)