Catatan Marlin : Pilih Cemplon Atau Croissant?
BOGOR, GESAHKITA COM—Waktu masih kecil ikut mbah Uti di Gunungkidul saya berpendapat bahwa Cemplon adalah kue paling enak di dunia. Ya, mungkin karena dunia saya hanya di seputar pedukuhan Ngagel. Kalau jajan tahunya hanya di warungnya mbah Bayan di pojokan SDN Kalangan.
Setelah besar dan bisa ngelayap ke sejumlah kota besar Indonesia pandangan saya berubah, tenyata Croissant lebih enak dari cemplon. Terlebih setelah menerima godaan kapitalis membuang duit dari Cafe ke Cafe. Di usia 30-an saat ganas-ganasnya mencari duit.
Tapi saya tidak berani menyimpulkan Croissant cemilan yang paling enak di dunia. Karena saya tahu banyak makanan yang belum saya cicip. Karena setelahnya lebih banyak lagi cemilan yang aku cicip dan rasanya lebih nampol dari Croissant. Warung Mbah Bayan tempat jajan di masa kecil pun sudah kukut. SDN Kalangan pun sudah bubar.
Dengan semakin banyak bepergian saya tahu banyak hal yang saya tidak tahu. Dalam segala hal tidak dapat cepat disimpulkan, ini paling hebat, paling baik, paling benar, paling jos, danseterusnya. Ini mengingatkan saya pada buku Filsafat Ilmu Yuyun Suriasumantri.
Ringkasan sederhana kesadaran manusia dalam batasan ruang dan waktu adalah Tahu di tahunya, tahu di tidak tahunya, tidak tahu di tahunya, tidak tahu di tidak tahunya. Singkat cerita semakin kita tahu dalam satu hal semakin pula tidak tahu di banyak hal.
Dengan demikian, saudara-saudara terkasih jemaah kamensenseiah yang tidak mudah baper, apa yang kita anggap paling enak, paling benar, paling oke itu belum tentu sahih. Begitu juga dengan pujian mantap betul yang sering terbaca di kolom komentar.
Setiap di antara kita tentu saja ada batasan ruang dan waktu. Jadi tidak perlu eker-ekeran berebut paling benar. Karena di ruang mereka tinggal ada yang bilang agama kristen yang paling benar, di tenpat lain lagi agama Islam yang paling benar, dan ada juga di tempat berbeda mengangggap agama Hindu yang paling benar, dan seterusnya.
Tidak ada yang salah dengannya pernyataan itu. Seperti halnya tidak salah juga dengan kesimpulan masa kecil saya bahwa cemplon makanan paling enak di dunia. Karena dunia saya hanya di sekitaran pedukuhan Ngagel.
Biarkan keyakinan seperti itu berjalan di lingkungan masing-masing. Di lingkungan yang lebih luas tidak boleh ada pemaksaan kehendak seperti pada Abad pertengahan yang memicu terjadinya pertempuran di mana-mana. Mungkin ada pemaksaan cemplon paling enak namun yang lain tidak sepakat. Maka terjadilah perang berkepanjangan.
Setiap terjadi perang atau kerusuhan sosial sudah pasti golongan masyarakat bawah yang paling menderita. Sedang para oligarch berpesta pora dengan jualan senjata. Mereka bergembira karena adanya jalan keluar dari stagnasi pertumbuhan, bangkrutnya pabrik-pabrik dan macetnya industri akal-akalan finansial.
Para pemimpin kupeg dan dongok yang gampang terpicu menggunakan kekuatan massa untuk memenangkan keyakinan sebut saja Cemplon lebih enak dari Croissant masih bisa berdalih harus mati yang terakhir dengan alasan kepemimpinan.
Anak-anak remaja yang terbakar kebencian oleh pidato-pidatonya adalah barisan depan yang harus mati duluan. Cerita Hitler atau Mussolini cukup menjelaskan itu. Googling ya jemaah Kamensenseiyah yang dimuliakan semesta?
Jadi kesimpulan saya waktu masih kecil bahwa Cemplon paling enak di dunia, itu bukan kesimpulan yang nasionalistik, melainkan kesimpulan yang kurang piknik.
Bogor, 23 Juli 2023