hut ri ke-78, 17 agustus 2023, hari kemerdekaan, banner 17 agustus selamat tahun baru islam, tahun baru islam 2023, banner tahun baru islam selamat hari raya, idul fitri 2023, idul fitri 1444h banyuasin bangkit,gerakan bersama masyarakat

Memperkuat Kewenangan KPK dalam Penyidikan Tipikor Koneksitas

Gugum Ridho Putra yang merupakan seorang Advokat selaku Pemohon didampingi Kuasa Hukum mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada Rabu (30/8/2023). Foto: Humas/Panji
Gugum Ridho Putra yang merupakan seorang Advokat selaku Pemohon didampingi Kuasa Hukum mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada Rabu (30/8/2023). Foto: Humas

JAKARTA, GESAHKITA COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada Rabu (30/8/2023).

Agenda sidang yaitu Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUUXX/2023 ini diajukan oleh Gugum Ridho Putra yang merupakan seorang Advokat.

Pemohon menguji frasa “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada ketentuan Pasal 42 UU KPK, kata “Penyidik” pada ketentuan Pasal 89 ayat (2), frasa kata “Menteri Kehakiman” pada Ketentuan Pasal 89 ayat (1), Pasal 89 ayat (3), Pasal 91 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (5), frasa kata “jaksa atau jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 90 ayat (1), ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1), dan Pasal 91 ayat (3), frasa kata “jaksa tinggi” pada ketentuan Pasal 93 ayat (1), frasa kata “Jaksa Agung” pada ketentuan Pasal 90 ayat (3), Pasal 93 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), frasa kata “Penuntut Umum” pada ketentuan Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), dan Pasal 93 ayat (1) KUHAP.

Pemohon menyebut kerugiannya terkait kewenangan penyidikan tindak pidana koneksitas atau tindak pidana melibatkan pihak-pihak dari kalangan sipil maupun kalangan militer pada saat bersamaan khususnya untuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemohon mencermati penanganan perkara-perkara korupsi yang mengandung koneksitas di KPK lebih condong mengedepankan penghukuman kepada pelaku dari kalangan sipil saja.

Padahal ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah jelas menegaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pemohon meyakini, ketidakprofesionalan KPK menangani perkara koneksitas itu disebabkan oleh ketidakjelasan norma-norma yang mengatur penyidikan dan penuntutan tindak pidana koneksitas.

Mengacu kepada Ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka dalam konteks pidana korupsi yang dilakukan kalangan sipil maupun kalangan militer, sejatinya tidaklah berpengaruh terhadap status perbuatan deliknya.

“KPK sudah mempunyai kewenangan untuk menyelidik, menyidik dan menuntut perkara yang melibatkan pelaku sipil dan militer. Akan tetapi tata cara hukum acara untuk melaksanakan kewenangan itu yang belum ditentukan secara jelas. Kemudian, KUHAP sendiri dalam pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji ini pada Pasal 89 sampai Pasal 93 sudah mengatur tata cara itu, dari mulai pembentukan tim penyidik gabungan, tim penuntut gabungan sampai mekanisme penunjukkan komposisi Majelis Hakim yang nanti akan menyidangkan. Bahkan KUHAP juga sudah mengatur apabila terjadi dispute antara tim gabungan penuntut umum. Ada kebutuhan hukum untuk KPK RI untuk dapat mempergunakan kewenangan koneksitas yang juga diatur dalam KUHAP tersebut,” Gugum Ridho Putra dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK untuk menerima permohonan Pemohon dan menyatakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk mengkontestasikan legal standing. “Pada bagian substansi memang Pemohon ingin ada penguatan lembaga KPK khususnya menemukan kasus yang beririsan dengan kewenangan lembaga lain khususnya peradilan militer atau kewenangan yang dimiliki oleh pejabat militer khususnya berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana. Nanti dicermati kembali apakah keterkaitannya hanya dua UU ini meskipun di permohonan juga sudah disebut UU 31/1997. Tetapi soal kewenangan penyidikan disana tidak dipersoalkan sama sekali di permohonan ini. Kalau kemudian nanti hanya memberikan penguatan penyidik KPK bisa memberi kewenangan lebih luas sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tanpa kemudian memberikan identifikasi soal penyidik di peradilan militer nanti di tataran empiriknya bisa tarik menarik lagi,” kata Suhartoyo.

Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan pada 12 September 2023 kepada Kepaniteraan MK.

Sumber Humas MK

Tinggalkan Balasan