Berita hari ini, Situs terpercaya dan terupdate yang menyajikan informasi kabar harian terbaru dan terkini indonesia.
Indeks
hut ri hut ri grand fondo

Hotel Pertama di Palembang Bernama Hotel Palembang Milik Raden Nangling

Hotel Pertama di Palembang Bernama Hotel Palembang Milik Raden Nangling

PALEMBANG, GESAHKITA COM—-Masyarakat kota Palembang saat ini tidak mengetahui, bahwa dulu Palembang memiliki Hotel yang sangat terkenal bukan hanya dari kalangan pribumi saja juga dari kalangan orang Belanda dan orang asing yang ada saat ini, itulah Hotel Palembang yang masyarakat menyebutnya Hotel Raden Nangling.

Hotel yang berdiri tahun 1905 merupakan hotel pertama yang ada di Palembang.
Raden Nangling sendiri dalam catatan sejarah adalah, seorang pengusaha dan pemilik Hotel Palembang, Raden Nangling juga dkenal sebagai direktur Koran Teradjoe dan ketua Sarekat Islam Cabang Palembang, Selain itu, Raden Nangling adalah pejuang kemerdekaan dan juga keturunan Suhunan Husin Dia’uddin.

Menurut Raden Helmi Fansuri yang merupakan keturunan Ke-empat dari Raden Nangling, Hotel Palembang ini berdiri tahun 1905 sampai 1945, Setelah tahun 1945 itu di gunakan oleh maskar laskar-laskar untuk perjuangan, hingga tahun 1947, Sejak tahun 1960 hotel ini di jadikan rumah tinggal oleh orangtuanya.

“Tahun 1945 hotel ini dijadikan lokasi laskar perjuangan untuk merebut kemerdekaan, sampai tahun 1947 pada masa inilah, berkumpulkan laskar-laskar perjuangan,” katanya ketika ditemui di kediamannya, Senin (8/7).

Di Zaman Belanda menurutnya, hotel ini dikenal dengan nama Hotel Palembang, karena pemiliknya adalah Raden Nangling, orang Palembang asli.

“Hotel itu dikenal oleh orang Belanda dengan nama Hotel Palembang yang memilikinya adalah Raden Nangling orang asli Palembang,” katanya.

Hotel Palembang ini menurut Helmi berisikan 10 kamar baik bagian atas dan bagian bawah .

“Kalau fasilitasnya yo caro dulu adalah tempat menginap saja dalam arti tidak ada yang lain, para tamu cuma untuk menginap bae di hotel ini, umumnya yang nginep ada orang Belanda, ada orang-orang kita, termasuk ada kiyai Bambu Seribu nginep di hotel ini, ada cerita kamar yang ditempati Kiyai Bambu Seribu yang merupakan seorang ulama, oleh pegawai tiap pagi tidak bisa di bersihkan kamarnya karena sudah rapi dan suatu malam sempat diintip rupanya Kiyai itu tidak tidur disitu, tidak ada kiainya“ katanya.

Apalagi menurutnya, sejak zaman dahulu hingga zaman Belanda bahwa di daerah 17 Ilir ini itu pusat perdagangan maka itulah Raden Nangling mendirikan hotel karena daerah pusat sentral perdagangan.
“ Dan kita yang pertama mengadakan hotel ini yang pertama di Palembang,” katanya.

Namun jika dilihat sekarang ini bentuk hotel ini tidak asli lagi karena tahun 1960 sudah di rubah bentuknya oleh orangtuanya Raden Hamzah F Soetonelendro untuk di jadikan rumah tinggal.
“Setelah dijadikan rumah tinggal, sebagian dibagian lantai bawah direhab itu untuk di jadikan toko-toko, untuk orang dagang disewakan, disini tanah Raden Nangling luasnya setengah hektarlah,” katanya.

Di bekas hotel ini menurutnya orang tidak bisa sembarangan untuk tidur, karena menurutnya ada kawan-kawannya pernah menginap di hotel tersebut mengalami sakit lantaran tidur tidak sopan.

“Pokoknya tidurnya harus berpakaian yang sopanlah,” katanya.

Dan kini dalam hotel tersebut yang tinggal hanyalah poto Raden Nangling dan lemari zaman dulu.

Sejarawan kota Palembang Kemas Ari Panji menambahkan kawasan 17 Ilir ini adalah sebuah wilayah yang zaman Kesultanan di sebut Gogoek Ketandan atau di kenal dengan Gogoek Sayangan .
“Kenapa ada kata Ketandan dan Sayangan, dalam catatan Kesultanan Palembang Darussalam, Ketandan adalah Guguk dari Bendahara, pemungut pajak zaman Kesultanan Palembang Darussalam sedangan Sayangan itu adalah guguk tempat pengrajin tembaga, wilayah 17 Ilir ini secara administrasi mulai dari simpang Pasar Burung terus ke Jalan Kol Atmo sampai ke Kuburan Raden Nangling didepan Pasar Cinde dan sedikit melebar kearah jalan Sayangan (Pasar Buah),” kata dosen UIN Raden Fatah Palembang ini.

Untuk wilayah Kelurahan 17 Ilir ini menurutnya memang sejak dahulu dikenal sebagai pusat kota dan pusat perdagangan di kota Palembang.

“ Di 17 Ilir ini sendiri dikenal sebagai pusat perdagangan, jadi pusat perdagangan kota Palembang itu ada disini, maka di zaman modern saat ini ada pasar buah, ada pasar burung, Pertokoan Gaya Baru , yang menjadi toko serba adanya di Palembang , dan memang ini sudah sejak lama dan di zaman Kesultanan disini menjadi pusat dagang karena tidak jauh dari Sungai Musi di Kelurahan 16 Ilir dan dermaga-dermaga juga tidak jauh dari sini ada dermaga Tanggo Batu, Sungai Rendang dan 16 Ilir dan sebagainya,” katanya.

Karena di 17 Ilir ini adalah pusat perdagangan dan pertokoan sehingga membutuhkan sebuah hotel atau penginapan, nah uniknya disini masih tersisa Hotel pertama di Palembang yang di bangun oleh Raden Nangling dan dalam catatan sejarah dan dokumen peta Belanda di tahun 1914 itu disebutkan Hotel Palembang dan potonya ada di Belanda.

“Hotel Palembang ini oleh masyarakat setempat di kenal masyarakat Palembang sebagai Hotel Raden Nangling, karena pemiliknya dalah Raden Nangling, yang nama aslinya Raden Mahjub,” katanya.

Hotel Palembang ini menurutnya cukup terkenal dan posisinya berada di tengah dan bukan berada di persimpangan seperti yang ada di media sosial.

“Poto yang banyak beredar di medsos, memprediksikan bahwa Hotel Palembang berada di sudut persimpangan antara Jalan Kol Atmo dan Jalan TP Rustam Effendi, padahal kalau di peta berada di tengah-tengah di Jalan TP Rustam Effendi, atau tepatnya berada di depan penginakan Siguntang yang kini tidak lagi beroperasional,” katanya.

Untuk itu menurut Kemas Ari Panji dirinya mendatangi langsung zuriat dari Raden Nangling yaitu Raden Helmi Fansuri, untuk memastikan apakah disini dulu adalah Hotel Palembang dan info ini dibenarkan kalau Hotel Raden Nangling itu adalah Hotel Palembang.
Hotel Palembang ini dimasa lalu menjadi tempat menginap bagi masyarakat termasuk dari uluan Palembang termasuk bangsa Belanda dan di masa perjuangan setelah tahun 1945 hotel ini tidak di operasionalkan lagi namun menjadi tempat tinggal dan pernah menjadi markas laskar pejuang berkumpul dari tahun 1945 sampai tahun 1947 di Pertempuran Lima Hari Lima Malam.

“Setelah tahun 1947 keatas hotel ini benar-benar dialih fungsikan menjadi tempat tinggal,“ katanya.