AUKUS dan Dinamika Regional: Implikasi Strategis Bagi ASEAN dan Indonesia
JAKARTA, GESAHKITA COM—-Pembentukan pakta keamanan AUKUS antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat menandakan transformasi penting dalam panorama geopolitik Asia Tenggara dan Asia Timur.
Kesepakatan trilateral ini bertujuan untuk memperkuat kerja sama militer dan melengkapi Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir, di antara teknologi canggih lainnya, yang konon dimaksudkan untuk melawan pengaruh Tiongkok yang semakin berkembang di kawasan Indo-Pasifik.
Keberadaan AUKUS membawa implikasi yang luas bagi dinamika keamanan regional, aliansi, dan kalkulasi strategis ASEAN dan Indonesia.
Esai ini meneliti dampak-dampak ini, mengevaluasi bagaimana AUKUS membentuk keseimbangan kekuatan, stabilitas regional, dan postur strategis ASEAN dan Indonesia.
Esai ini berpendapat bahwa meskipun AUKUS berpotensi untuk meningkatkan pencegahan terhadap Tiongkok, namun juga berisiko meningkatkan ketegangan dan memperumit prinsip non-blok ASEAN, sehingga memerlukan tanggapan diplomatik yang bernuansa dari para aktor regional, khususnya Indonesia.
AUKUS dibentuk dengan latar belakang meningkatnya kekhawatiran mengenai kebijakan tegas Tiongkok di Indo-Pasifik. Sasaran strategis pakta tersebut mencakup peningkatan kemampuan pertahanan, pembinaan kolaborasi teknologi, dan penguatan kerja sama keamanan siber dan kecerdasan buatan.
Penyediaan kapal selam bertenaga nuklir bagi Australia dianggap sangat penting karena memperkuat potensi angkatan laut Australia, memungkinkan jangkauan operasional yang lebih luas dan peningkatan kemampuan siluman.
Perkembangan ini umumnya dianggap sebagai respons langsung terhadap kekuatan angkatan laut Tiongkok yang semakin meluas, khususnya di Laut Cina Selatan, tempat sengketa wilayah dan militerisasi telah meningkatkan ketegangan regional.
Pengenalan AUKUS membentuk kembali dinamika keamanan regional dengan menyesuaikan keseimbangan militer dan memengaruhi persepsi keamanan di antara negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur.
Reaksi Tiongkok terhadap AUKUS mengikuti pola yang dapat diprediksi, menafsirkannya sebagai langkah provokatif yang bertujuan untuk menahan kebangkitannya. Penafsiran ini sejalan dengan kekhawatiran Tiongkok yang lebih luas tentang strategi Indo-Pasifik yang dipimpin AS, yang bertujuan untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok melalui kemitraan strategis dan kehadiran militer.
Kemungkinan terjadinya perlombaan senjata dan peningkatan militerisasi di kawasan tersebut menjadi perhatian utama, karena negara-negara mungkin merasa perlu untuk meningkatkan kemampuan militer mereka sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan yang ditimbulkan oleh AUKUS dan meningkatnya ketegasan Tiongkok.
AUKUS memiliki implikasi yang signifikan bagi aliansi dan kemitraan yang ada. AUKUS memperkenalkan dinamika baru ke dalam jaringan pengaturan keamanan regional yang sudah kompleks, termasuk ANZUS (Perjanjian Keamanan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat) dan aliansi berbagi intelijen Five Eyes.
Kehadiran AUKUS dapat mendorong penilaian ulang aliansi ini, yang mendorong para anggota untuk meninjau kembali strategi dan komitmen keamanan mereka. Lebih jauh lagi, AUKUS memiliki dampak substansial pada persaingan AS-Tiongkok yang lebih luas, memperkuat persaingan strategis yang menjadi ciri hubungan mereka dan memengaruhi keseimbangan kekuatan di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Aspek penting dari dampak AUKUS adalah niat strategisnya untuk membendung Tiongkok. Alasan di balik AUKUS adalah untuk melawan pengaruh Tiongkok dan memastikan keseimbangan kekuatan untuk mencegah satu aktor mendominasi kawasan.
Strategi pembendungan ini terbukti dalam penekanan pakta pada kemampuan militer dan kemitraan strategis yang dirancang untuk menghalangi perilaku asertif Tiongkok.
Namun, tanggapan Tiongkok terhadap AUKUS, yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas militer dan protes diplomatik, menyoroti tantangan dari strategi semacam itu. Risiko meningkatnya ketegangan dan potensi konflik menggarisbawahi perlunya pengelolaan lingkungan keamanan regional yang hati-hati.
Tanggapan ASEAN terhadap AUKUS beragam, mencerminkan beragamnya kepentingan dan perspektif negara-negara anggotanya.
Sebagai organisasi regional, ASEAN menjunjung tinggi prinsip-prinsip non-blok dan sentralitas regional, serta berupaya menjaga perdamaian dan stabilitas melalui dialog dan kerja sama.
Pengenalan AUKUS menghadirkan tantangan terhadap prinsip-prinsip ini, yang berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan regional dan mempersulit upaya ASEAN untuk menjaga persatuan dan sentralitas dalam masalah keamanan regional.
Masing-masing negara anggota ASEAN menanggapi AUKUS secara berbeda. Negara-negara seperti Singapura telah menyatakan dukungan yang hati-hati terhadap pakta tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan keamanan regional terhadap potensi ancaman.
Negara-negara lain, seperti Malaysia dan Indonesia, telah menyuarakan kekhawatiran mengenai proliferasi nuklir dan risiko perlombaan senjata.
Berbagai tanggapan ini menyoroti kompleksitas posisi ASEAN karena negara-negara anggota berupaya menyeimbangkan kepentingan nasional mereka dengan tujuan kolektif organisasi.
Keragaman reaksi tersebut menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi ASEAN dalam mengembangkan respons terpadu terhadap AUKUS sambil menegakkan prinsip-prinsip intinya.
Sebagai anggota ASEAN yang berpengaruh dan pemain penting di kawasan tersebut, Indonesia memegang peran yang sangat penting dalam membentuk responsnya terhadap AUKUS.
Secara historis, dengan berpegang pada prinsip “Bebas Aktif”, kebijakan luar negeri Indonesia menekankan independensi dan keterlibatan aktifnya dalam urusan internasional tanpa berpihak pada blok kekuatan besar mana pun.
Pendekatan ini telah memungkinkan Indonesia untuk menavigasi lanskap geopolitik yang rumit sambil mempertahankan kedaulatannya dan mempromosikan stabilitas regional.
Indonesia awalnya bereaksi hati-hati terhadap AUKUS, dengan menyatakan kekhawatiran tentang potensi peningkatan ketegangan regional dan implikasi yang menyertainya bagi keamanan nasional.
Kekhawatiran ini berasal dari tujuan untuk menghindari keterlibatan dalam persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Cina, yang dapat merusak otonomi strategis Indonesia dan mempersulit hubungan diplomatiknya.
Menanggapi AUKUS, Indonesia telah menerapkan sejumlah penyesuaian diplomatik dan strategis. Upaya untuk menjalin hubungan yang seimbang dengan negara-negara besar merupakan inti dari strategi Indonesia, yang mencakup peningkatan kemampuan pertahanan melalui program-program modernisasi dan penguatan kerja sama regional dalam ASEAN.
Selain itu, Indonesia menggarisbawahi pentingnya menjaga persatuan dan sentralitas ASEAN, dengan mengadvokasi pendekatan kolektif terhadap tantangan keamanan regional yang sejalan dengan prinsip-prinsip ASEAN.
Implikasi regional yang lebih luas dari AUKUS bersifat multifaset. Potensi perlombaan senjata dan peningkatan militerisasi menjadi perhatian penting, karena negara-negara mungkin menanggapi ancaman yang dirasakan dengan meningkatkan pengeluaran dan kemampuan pertahanan mereka.
Eskalasi ini dapat mengganggu stabilitas kawasan, membuatnya lebih rentan terhadap konflik, dan merusak upaya untuk membina perdamaian dan stabilitas.
Secara ekonomi dan politik, AUKUS memberikan pengaruh pada perdagangan regional dan hubungan diplomatik. Persaingan yang semakin ketat antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang diperkuat oleh AUKUS, memengaruhi kemitraan ekonomi regional dan arus perdagangan.
Akibatnya, negara-negara harus berkutat pada pertimbangan geopolitik yang rumit dalam transaksi ekonomi mereka, mencapai keseimbangan antara negara-negara besar sambil berusaha menegakkan stabilitas dan kemakmuran.
Secara strategis, AUKUS menghadirkan peluang dan tantangan. AUKUS menghadirkan prospek untuk peningkatan kerja sama regional dan multilateralisme, karena negara-negara berupaya mengatasi masalah keamanan bersama melalui upaya kolaboratif.
Namun, AUKUS juga menimbulkan tantangan dalam menjaga tatanan regional yang stabil dan damai, karena persaingan strategis di antara negara-negara besar mempersulit upaya diplomatik dan meningkatkan risiko konflik.
Mengingat rumitnya situasi ini, ASEAN dan Indonesia harus menggunakan beberapa strategi untuk menangani dampak AUKUS secara efektif. Pertama, ASEAN harus memprioritaskan penguatan kohesivitas internalnya dan peningkatan mekanisme dialog dan kerja sama.
Hal ini memerlukan penguatan kerangka kerja keamanan yang ada dan pengembangan langkah-langkah membangun kepercayaan di antara negara-negara anggota.
Dengan menghadirkan front persatuan, ASEAN dapat mengelola kekuatan eksternal secara lebih efektif dan menegakkan prinsip-prinsip non-blok dan sentralitas regional.
Sebagai pemain penting di kawasan tersebut, Indonesia harus terus mengadvokasi penyelesaian diplomatik dan terlibat dalam diplomasi proaktif untuk mengatasi tantangan keamanan regional.
Hal ini melibatkan pengembangan dialog dengan negara-negara besar, memajukan kerja sama multilateral, dan meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk mencegah potensi ancaman.
Selain itu, Indonesia harus memanfaatkan posisinya yang unik sebagai jembatan antara berbagai budaya dan kawasan untuk memfasilitasi dialog dan kerja sama antarnegara.
Sebagai kesimpulan, pengenalan AUKUS merupakan perubahan penting dalam lanskap geopolitik Asia Tenggara dan Asia Timur. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan pencegahan terhadap Tiongkok, hal itu juga berisiko memperburuk ketegangan dan mempersulit kalkulasi strategis para pemangku kepentingan regional.
ASEAN dan Indonesia menghadapi tugas untuk menavigasi kompleksitas ini dengan terampil sambil secara bersamaan menegakkan prinsip-prinsip non-blok dan sentralitas regional.
Melalui upaya penyelesaian diplomatik, pembinaan kerja sama regional, dan peningkatan kemampuan pertahanan, ASEAN dan Indonesia dapat secara efektif mengelola dampak AUKUS dan secara aktif berkontribusi pada stabilitas dan perdamaian regional.
Prospek keamanan regional bergantung pada kemampuan para pemangku kepentingan ini untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan nasional mereka dan tujuan kolektif untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik.
Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri.
Penulis Simon Hutagalung adalah diplomat pensiunan dari Kementerian Luar Negeri Indonesia dan meraih gelar master dalam ilmu politik dan politik komparatif dari City University of New York. Pendapat yang diungkapkan dalam artikelnya adalah pendapat pribadinya.
Euroasia review news org
Alih bahasa gesahkita