selamat natal dan tahun baru pelantikan bupati
News  

Walhi Sumsel : Sumsel Menuai Bencana Ekologis, Lawan Keserakahan Tegakan Keadilan Ekologis…!

Walhi Sumsel : Sumsel Menuai Bencana Ekologis, Lawan Keserakahan Tegakan Keadilan Ekologis…!

PALEMBANG, GESAHKITA COM—–WALHI SUMSEL, ROTAN, MASOPALA UNSRI, Himpala Dharmapala Chakti, Solidaritas Perempuan Palembang, Women Crisis Center Palembang, HIMASYLVA UMP, BEM FE UNSRI, BEM FISIP UNSRI, Benah Palembang, Green Heroes Sriwijaya, Suara Mentari, dan Rumah Relawan Peduli, ⁠memperingati hari bumi untuk menyuarakan perlawanan atas darurat ekologis yang semakin nyata. Rangkaian kegiatan, pawai longmarch bola bumi, pasar gratis, pembagian bibit pohon dan pickup sampah.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Yuliusman SH melalui Kadiv Kampanye WALHI Sumsel Febrian Putra Sopah, dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, Aksi ini menandai akumulasi dari bencana ekologis yang bukan lagi sekadar peristiwa alam, melainkan hasil langsung dari kebijakan yang timpang dan perampasan ruang hidup oleh korporasi tambang, sawit, dan hutan tanaman industri, Selasa, (22/04/2025).

Foto dok Walhi Sumsel saat aksi hari bumi 2025

Walhi Sumsel mencatat, Sepanjang tahun 2024, Sumatera Selatan menghadapi 154 kejadian banjir di 14 kabupaten/kota yang berdampak pada lebih dari 365 ribu jiwa, dengan 91 ribu rumah terendam dan kerusakan infrastruktur publik.

“Di musim kemarau, 11.786 titik api mencuat, sebagian besar di lahan gambut yang telah rusak akibat pengeringan oleh perusahaan. Di sisi lain, pencemaran air, udara, dan tanah merata di berbagai wilayah, mengancam sumber kehidupan rakyat dari hulu ke hilir,” ungkap Febri.

Foto dok Walhi Sumsel saat aksi hari bumi 2025

Namun semua ini hanyalah gejala dari krisis struktural yang lebih dalam: ketimpangan penguasaan lahan di Sumatera Selatan.

Dijelaskannya juga, dari total 8,3 juta hektar daratan di Sumsel, sebanyak 3,3 juta hektar dikuasai oleh korporasi tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan HTI.

“Penguasaan ini berlangsung melalui izin-izin skala besar, namun mengabaikan hak dan keselamatan rakyat.,” tegasnya.

Sambungnya, Ketimpangan ini menghilangkan hutan, kawasan resapan, rawa-rawa, dan tanah pertanian rakyat—semuanya digantikan dengan pertambangan terbuka, monokultur sawit, dan tanaman industri.

Dalam keterangan nya digambarkannya bahwa, “Ketika air tak lagi terserap tanah, ketika sungai mengalirkan limbah tambang, dan ketika udara penuh debu batubara, maka yang terjadi adalah banjir, kebakaran, pencemaran, dan kehilangan sumber penghidupan”.

Foto dok Walhi Sumsel saat aksi hari bumi 2025

Rakyat, tegas Febri, kehilangan ruang hidup, sementara korporasi memperoleh legitimasi untuk memperluas eksploitasi.

Bahkan disebutkannya, “Revisi tata ruang ini tidak hanya cacat secara ekologis, tetapi juga cacat secara keadilan”.

“Negara tampak lebih sibuk melayani modal daripada melindungi rakyat dari bencana yang diciptakannya sendiri”.

Masih dalam keterangan Kadiv Kampanye WALHI Sumsel itu bahwa dampak dari ketimpangan ruang ini dirasakan oleh semua.

Dia memberi contoh warga kota Palembang yang setiap tahun kebanjiran karena RTH dan rawa diganti beton dan perumahan elit, hingga warga desa di provinsi sumatera selatan yang sumurnya tercemar limbah dan hutannya dilenyapkan.

“Sungai tercemar, sawah rusak, udara penuh asap dan debu. Di tengah situasi ini, warga justru dikriminalisasi ketika membela ruang hidupnya, sementara korporasi bebas beroperasi dengan impunitas,” kata Febri merincikan.

“Dalam Hari Bumi 2025 ini, maka kami mendesak :  Hentikan ekspansi industri ekstraktif di Sumatera Selatan, khususnya tambang batubara, perkebunan kelapa sawit, dan hutan tanaman industri (HTI).

Cabut izin-izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan dan mencemari ruang hidup rakyat.

Laksanakan pemulihan ekologis dan sosial secara menyeluruh di wilayah terdampak krisis ekologis, dengan memastikan keterlibatan masyarakat.

Hentikan kriminalisasi warga yang membela ruang hidup dan hentikan impunitas terhadap korporasi perusak lingkungan.

Wujudkan reforma agraria, hentikan monopoli ruang oleh korporasi, dan kembalikan akses rakyat atas tanah, air, dan udara yang bersih.

Mendesak kepala daerah di Sumatera Selatan untuk menjadikan keadilan ekologis dan krisis iklim, serta memastikan keadilan gender dalam setiap kebijakan yang diambil terkait dengan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam,” tegasnya.

Hari Bumi bukanlah seremoni tahunan. Bagi rakyat Sumsel, ini adalah momentum konsolidasi melawan ketimpangan struktural yang merampas tanah, air, udara, dan masa depan.

“Jika lahan terus dikapling untuk tambang dan sawit, jika rawa dan hutan terus dimusnahkan, maka banjir, kebakaran, dan penderitaan rakyat Sumatera Selatan akan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya berpihak pada bumi dan rakyat, bukan pada modal dan kehancuran,” tutup Febrian Putra Sopah, Kadiv Kampanye WALHI Sumsel.

Edited By Arjeli Sy Jr