Menelusuri Sejarah Kota Melalui Sebuah Gedung: “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa”
GESAHKITA.COM, PALEMBANG— Di balik kemegahan sebuah bangunan pemerintahan, tersimpan kisah panjang tentang kekuasaan, pelayanan publik, dan wajah kota yang terus berubah. Tiga tokoh berlatar akademisi dan jurnalis berkolaborasi untuk membingkai kisah itu dalam bentuk buku sejarah bertajuk “Kantor Wali Kota Palembang dari Masa ke Masa”.
Buku ini merupakan hasil kerja intensif Dr. Dedi Irwanto, MA dan Dr. Kemas A. Rachman Panji, M.Si — dosen dari Universitas Sriwijaya dan UIN Raden Fatah Palembang — bersama jurnalis senior Sumatera Selatan, Dudy Oskandar. Digarap sejak Oktober 2024 hingga Februari 2025, buku ini resmi diluncurkan pada Sabtu (28/6/2), di Gedung Kesenian Palembang.
Peluncuran buku berlangsung dalam nuansa reflektif dan penuh makna, dikemas dalam diskusi dan bedah buku bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kota Palembang serta menyambut Tahun Baru Islam. Dua penulis hadir langsung sebagai pembicara, didampingi Ketua Dewan Kesenian Palembang Muhammad Nasir sebagai pembedah buku, dengan Vebri Al Lintani sebagai moderator diskusi.
Menyelami Identitas Kota dari Sebuah Kantor
Buku ini bukan sekadar menyoroti sisi arsitektural Kantor Wali Kota Palembang, melainkan memotret narasi historis institusi yang menjadi simbol pemerintahan kota. Dalam sesi diskusi, Dr. Kemas Panji menjelaskan, “Kita ingin membuka mata masyarakat bahwa Kantor Wali Kota Palembang bukan sekadar gedung pemerintahan, tapi bagian penting dari perjalanan sejarah kota ini.”
Melalui penelusuran data otentik, buku ini menyajikan jejak para pemimpin Kota Palembang dari masa ke masa — dari masa kolonial hingga era otonomi daerah — yang menjadikan kantor ini sebagai pusat pengambilan kebijakan.
Dr. Dedi Irwanto menambahkan, “Kami tidak hanya menuliskan tentang bangunannya, tetapi juga bagaimana ia tumbuh sebagai simbol birokrasi dan pelayanan publik. Ada dinamika sosial-politik di balik tiap masa yang menarik untuk dikaji.”
Salah satu aspek menarik dalam buku ini adalah fungsi ganda dari Kantor Wali Kota Palembang. Tak hanya menjadi pusat pemerintahan, gedung ini juga berfungsi sebagai menara air — satu-satunya di Indonesia — yang dulunya digunakan untuk menyalurkan air bersih ke berbagai penjuru kota. Fakta ini memperkaya pemahaman tentang bagaimana infrastruktur kota dahulu dirancang multifungsi, mencerminkan adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat urban saat itu.
Lebih dari Sekadar Buku
Bagi para penulis, buku ini bukan hanya arsip sejarah, tetapi juga upaya menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya merawat identitas kota. Mereka berharap Pemerintah Kota Palembang dapat mencetak ulang buku ini secara berkala dengan data terbaru dan menjadikannya sebagai souvenir edukatif bagi para tamu dan wisatawan yang berkunjung ke kota ini.
Peluncuran buku ini turut dihadiri berbagai kalangan: Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV RM Fauwaz Diraja SH MKn, Sekretaris Dinas Kebudayaan Palembang Septa Marus, tokoh literasi Maspriel Aries, budayawan dan seniman Palembang, pimpinan RMOL Sumsel Fajarwiko, hingga Ketua Umum Sarekat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri.
Kehadiran mereka menjadi cerminan bahwa sejarah kota bukanlah milik akademisi semata, melainkan milik bersama — yang harus terus digali, dirawat, dan diwariskan.
Penjaga Ingatan Kota
Sebagaimana gedung tua yang menyimpan gema langkah para pemimpinnya, buku ini hadir sebagai penjaga ingatan kolektif. Ia membuka pintu bagi generasi baru untuk mengenali jejak langkah Kota Palembang melalui institusi yang menjadi jantung pemerintahannya.
“Menulis sejarah itu bukan hanya mencatat, tetapi memberi makna pada yang terlupakan,” ucap Dudy Oskandar menutup diskusi. Sebuah kalimat sederhana, namun menjadi