Banyuasin, Gesahkita.com—Kejadian memilukan menimpa seorang anak berinisial A (14), yang diduga menjadi korban penganiayaan brutal oleh seorang pemilik warung berinisial B. Insiden ini terjadi ketika A tengah bermain bersama temannya R (10) pada 12 Mei 2025.

- Advertisement -

 

Menurut keterangan keluarga, R sempat mengeluh lapar kepada A dan berniat mencuri jajanan di warung milik B. Namun, A justru menolak dan menyarankan agar mereka pulang saja jika lapar. Meski demikian, R tetap nekat masuk ke warung dan aksinya diketahui oleh B.

 

Ironisnya, B justru menangkap D yang tidak ikut mencuri, lalu membawanya ke warung. Di sanalah A diduga disiksa secara kejam, bahkan tangannya diikat saat dihajar.

 

Orang tua korban, JM, langsung melaporkan peristiwa ini ke Polres Banyuasin pada 19 Mei 2025 dengan Laporan Polisi No: LP /B-220 / V / 2025 / SPKT / Polres Banyuasin. Namun, hingga hampir dua bulan berlalu, belum terlihat tanda-tanda penanganan serius dari pihak kepolisian.

 

Pada Kamis (10/07/2025), pihak keluarga bersama pengacara pendamping berupaya melakukan mediasi. Sayangnya, upaya tersebut justru diwarnai intervensi dari oknum kepala desa (kades) dan camat setempat. Kades bahkan mempertanyakan kehadiran pengacara dan menuding D sebagai “pelaku pencurian” — sebuah pernyataan yang dinilai sangat tidak manusiawi dan berpotensi mengaburkan fakta hukum.

 

Padahal, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang ini secara tegas melarang tindakan main hakim sendiri, apalagi kepada anak di bawah umur.

 

Kasus ini memperlihatkan dengan gamblang bagaimana lemahnya perlindungan hukum bagi anak di Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan figur yang memiliki kekuasaan di tingkat lokal.

 

Kepolisian seharusnya segera mengambil langkah cepat, bukan justru membiarkan kasus ini mengendap tanpa kejelasan. Apalagi, korban adalah anak di bawah umur yang seharusnya mendapat perlindungan khusus sebagaimana diamanatkan undang-undang.

 

Tindakan oknum kades yang mengintervensi proses pendampingan hukum juga menunjukkan adanya dugaan upaya menghalangi keadilan. Pernyataan kades yang menyudutkan korban menunjukkan minimnya empati dan pengetahuan hukum aparat desa terhadap hak anak.

 

Jika dibiarkan, kasus seperti ini hanya akan menjadi preseden buruk dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Negara dan aparat penegak hukum wajib hadir untuk memastikan tidak ada anak yang menjadi korban kekerasan, apalagi sampai terabaikan proses hukumnya.

 

Orang tua si pelaku meminta ke adilan seadil adilnya .” saya minta tolong kepada bapak bupati, untuk ke adilan biarpun anak saya melakukan kesalahan tapi tolong jangan di siksa. Atau di aniaya saya selaku orang tua nya, tidak terima dan seharusnya mereka bicara baik baik akan tetapi mereka malah menyiksa anak saya. Tutur JM berkata lirih (Tim)