Hukum untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Hukum

Oleh : Widodo,S.H (Praktisi Hukum-JHW LAW FIRM)

- Advertisement -

GESAHKITA.COM, PALEMBANG—-Keadilan adalah kata yang indah, tetapi sering kali sulit diwujudkan. Ada adagium klasik yang bergaung dari masa ke masa: “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.” Ungkapan ini bukan sekadar perbandingan angka, melainkan penegasan bahwa hukum hanyalah sarana; tujuan tertingginya adalah menjaga martabat manusia.

Ketika hukum kehilangan nurani, ia berubah menjadi mesin dingin tanpa jiwa. Padahal, hukum lahir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia.

Sebagaimana diingatkan Prof. Satjipto Rahardjo, “Hukum tidak boleh membuat manusia menderita demi menegakkan teks semata.”

Sejarah mencatat, banyak peradaban runtuh bukan karena lemahnya aturan, melainkan karena aturan dijalankan tanpa hati. Hukum yang menghukum seribu orang bersalah masih bisa ditoleransi sebagai konsekuensi sosial. Namun, hukum yang menghukum satu orang tak bersalah adalah pengkhianatan terhadap esensi keadilan itu sendiri.

Gustav Radbruch menekankan bahwa hukum memuat tiga nilai fundamental: kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Tetapi keadilan harus selalu berada di atas segalanya. Kepastian tanpa keadilan hanyalah tirani terselubung, sedangkan hukum yang melupakan manusia ibarat pedang tanpa gagang: menusuk, melukai, tetapi tidak dapat digenggam.

Indonesia bukan tanpa luka. Kita pernah mendengar cerita salah tangkap, salah vonis, hingga kriminalisasi. Para korban kehilangan kebebasan, keluarga, dan masa depan, hanya karena hukum berjalan tanpa nurani. Permintaan maaf atau kompensasi negara tidak akan mampu mengembalikan waktu yang hilang, atau menghapus stigma yang melekat.

Inilah alarm keras bagi bangsa: hukum harus berhati-hati dalam menilai, selektif dalam menghukum, dan rendah hati dalam menjalankan kewenangannya. Sebab, sekali saja seorang yang tidak bersalah terjerat, maka citra keadilan runtuh, dan kepercayaan rakyat terhadap hukum ikut terkoyak.

Dalam prinsip in dubio pro reo, hukum diwajibkan berpihak pada terdakwa ketika bukti meragukan. Ini bukan kelemahan, melainkan kebijaksanaan. Lebih baik ragu yang menyelamatkan, daripada kepastian yang menzalimi.

Keadilan sejati bukanlah angka statistik berapa orang bersalah dihukum atau bebas melainkan wajah manusia yang merasa aman karena hukum hadir sebagai pelindung, bukan algojo.

Hukum adalah cahaya, bukan bayangan. Ia seharusnya menuntun manusia menuju kebaikan, bukan menjerumuskan yang tak bersalah ke dalam kegelapan. Oleh karena itu, adagium “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” harus menjadi pedoman moral setiap penegak hukum.

Lebih baik seribu kesalahan luput, daripada satu kebenaran dikorbankan. Karena sesungguhnya, hukum yang sejati adalah hukum yang bernurani: hukum yang menjaga martabat, melindungi kehidupan, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun jiwa tak bersalah yang menjadi tumbal atas nama keadilan.