Palembang, GESAHKITA – Kambang Iwak Park tidak sekadar menjadi ruang terbuka hijau di jantung kota Palembang. Ia menjelma panggung solidaritas, tempat seni bernafas dan empati menemukan wujudnya. Minggu (28/12/2025).
Hari kedua Konser Amal berlangsung dengan denyut yang lebih terasa dibanding hari pertama.
Jika sebelumnya suasana lebih kontemplatif, kali ini energi panggung mengalir deras membawa penonton dari refleksi sunyi menuju perayaan penuh warna.
Konser resmi dibuka oleh Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) M. Nasir, didampingi tokoh-tokoh komunitas seni dan budaya.
Nama-nama seperti Kgs. M. Riduan (KKPP), Cheirman (Gong Sriwijaya), M. Fitriansyah (Kawan Lamo), Suparman Roman (Pekat IB), hingga Ali Goik (Kobar 9) hadir di barisan depan.
Kehadiran mereka bukan sekadar seremoni, melainkan penanda bahwa konser ini tumbuh dari simpul kolaborasi lintas komunitas, lintas disiplin, dan lintas kepedulian.
Larik pertama malam itu datang dari Vebri Al-Lintani, Anto Narasoma, dan Akifa. Puisi mereka tidak dikeraskan, melainkan diperdengarkan dengan tenang.
Kata-kata menjadi pintu masuk emosional, mengantar penonton pada ruang refleksi sebelum musik mengambil alih panggung.
Gong Sriwijaya kemudian membangun lanskap bunyi. Denting instrumen tradisional diramu dengan pendekatan modern, menciptakan atmosfer kontemplatif.
Tradisi tidak diperlakukan sebagai benda museum, melainkan sebagai suara yang hidup, terus ditafsir ulang oleh zaman.
Energi panggung mengalir lewat KPJ, Randi Batanghari 9, gong Sriwijaya, Rakyat Metal Kertapati, Komunitas Kawan Lamo dan Tanjek.
Nuansa etnik semakin kuat saat Rejung Pesirah dibawakan Ali Goik dengan Tam Tam Dukunya bersama kawan-kawan.
Lagu-lagu tradisi hadir dengan sentuhan komunikatif, membumi, dan dekat dengan penonton.
Ritme semakin meninggi ketika Jammers dengan vokalis Adi Roman tampil memikat. Slanker dengan vokalis Mamen membuat kawasan taman terasa membara. Tubuh penonton ikut bergerak—tanpa komando, tanpa jarak.
Studio 12 di bawah komando Amed, Bucu Band yang dimotori Andivedo, serta RMK pimpinan Doni menambah lapisan musikal.
Warna urban, eksperimental, dan lugas berpadu, menunjukkan bahwa pesan kemanusiaan bisa hadir lewat berbagai bunyi.
Sorotan khusus datang dari KPJ yang digawangi Ludy. Karakter musikal yang kuat dan kedekatan emosional dengan audiens menjadikan penampilan ini jembatan antara semangat kolektif dan ekspresi personal. Solidaritas terdengar, terasa, dan mengikat.

Di sela musik, puisi kembali bicara. Vebri Alintani membawakan Balak Hujan Lebat, puisi tentang bencana dan kegetiran manusia di hadapan alam.
Maritza Yozza Sandrina hadir dengan gaya naratif hangat, menjadikan panggung sebagai ruang lintas generasi.
Sementara Akifa membacakan puisi bertema banjir Sumatera karya Inug, menghadirkan pesan ekologis yang kuat dan aktual.
Menjelang penutup, Tanjack Kultur menghadirkan performa eksperimental yang memadukan tubuh, bunyi, dan ruang.
Kejutan lintas budaya datang dari tari India Sanggar Amesa Dancer pimpinan Abah Sekar—gerak dinamis dan kostum penuh warna mencuri perhatian.
Klimaks visual malam itu ditutup oleh Sanggar Naga Besaung lewat tarian Lenggang Zapin Palembang. Gerak simbolik memaknai tubuh sebagai doa, harapan, dan solidaritas.
Dipandu MC Risma dan Mamen, acara mengalir hingga akhir. Panggung ditutup oleh para penyanyi dan pemusik dangdut dari KKPP.
Penyanyi cilik Nabila, Putri, dan Vina mengajak penonton bergoyang, mencairkan suasana. Kegembiraan pun terbukti bisa menjadi jalan menuju kepedulian.
Di balik seluruh rangkaian seni, Konser Amal berhasil menghimpun dana hari pertama Rp.2.580.000 hari kedua Rp. 3.500.000 total keseluruhan berjumlah Rp.6.080.000, ditambah pakaian bekas layak pakai.
Donasi datang dari pengunjung, komunitas seni, relawan, hingga warga yang sekadar melintas. Empati tidak hanya terdengar di panggung ia berpindah tangan, menjadi aksi nyata.
Konser Amal menegaskan satu hal penting ketika seni diberi ruang, ia tidak lagi diam. Ia bergerak, bernapas, dan menjelma kemanusiaan.










