PALEMBANG, GESAHKITA COM —Secara Pengertian “Reforma Agraria” (RA) atau “Agrarian Reform” adalah suatu penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan komperhensif (lengkap).
Hal tersebut disampaikan Dedek Chaniago Sekjen Komite Reformasi Agraria Sumatera Selatan (Krass) kepada GESAHKITA.COM menjelang bakal diadakannya Diskusi Reforma Agraria yang bertajuk “Evaluasi dan Refleksi Reforma Agraria Sumsel” di Aula PWNU Sumsel pada 27 Januari 2021 mendatang.
Dedek sapaan akrabnya ini pun mengutip Michael Lipton, dalam bukunya berjudul, “Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong (London: Routledge, 2009), halaman 328.
Menurut Michael Lipton, ditulis Dedek bahwa reforma agraria atau disebut juga dengan land reform (istilah ini sering dipakai aktivis lingkungan, red) adalah suatu kegiatan “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukkan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut”.
Dengan begitu kata Dedek Reforma Agraria ini adanya dorongan secara Legislasi bertingkat,”Dari atas ke bawah dan dari Presiden Jokowi itu sudah diterbitkan dengan “Nawacita Presiden Jokowi”, Tegas Dedek.
Dedek juga menyebut, Reforma agraria tidak semata-mata memberdayakan satu pihak dengan diredistribusikannya tanah pada mereka para korporasi yang berjanji akan mensejahterakan rakyat sekitar dimana mereka mengeruk keuntungan berlipat yang kenyataaan nya rakyat dibohongi.
“Namun, sambung Dedek, “ Reforma Agraria dapat juga berarti menidakberdayakan pihak korporasi sebab janji janji awal untuk memberdayakan masyarakat petani tidak terpenuhi,”
Dengan demikian juga apa yang ada dalam Nawacita Jokowi itu bahwa reforma agraria adalah mandat konstitusi yang memiliki cita-cita keadilan sosial dan penegakan hak asasi manusia berupa hak sosial dan ekonominya.
Reforma Agraria Sumsel
Dalam rilis nya ini juga KRASS menilai, “Meski Reforma agraria adalah program nasional yang didengungkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun pada kenyataannya reforma agraria di Sumatera Selatan baru sebatas wacana.
KRASS juga telah mencatat, dari 10 kasus konflik agraria di Sumatera Selatan, hingga saat ini belum satupun selesai dengan baik meski pihaknya telah mencoba melakukan mediasi.
Reforma Agraria Urgent Diwujudkan Sebab Konflik Berujung Maut
Lebih lanjut ditulis Sekjen KRASS tersebut bahwa dirinya khawatir jika konflik agraria tak kunjung diselesaikan, akan berjatuhan korban jiwa. Dia mengacu pada 2 orang petani Desa Pagar Batu, Lahat, Sumsel dan juga petani di Palembang yang dipenjara. Dua petani Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Lahat yang tewas adalah Suryadi dan Putra Bakti. Keduanya diduga tewas tertusuk oleh Satpam perusahaan sawit.
Kantor Pelaksana Gugus Tugas Reforma Agraria Sumsel Tak Mampu Selesaikan Konflik
Dedek mengungkapkan di Sumatera Selatan, peranan reforma agraria berada dipundak Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Reforma Agraria dan KaKanwil ATR/BPN Propinsi Sumatera Selatan. Penyelesaian yang dimediasi KRASS untuk 10 kasus reformas agraria di Sumsel sudah berulang kali digelar. Namun hingga saat ini tak kunjung menemui titik terang.(*)
Sumber : KRASS
Editor : Arjeli Sy Jr