JAKARTA, GESAHKITA COM–Pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah (pemda) masih jauh dari kata ideal. Kini sepertiga dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) habis hanya untuk gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kebutuhan birokrasi, bukan kepentingan publik.
Seperti tertuang dalam dokumen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menjadi bahan rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti dilansir cnbc Indonesia, Selasa (29/6/2021)
Pada dokumen tersebut menunjukkan, pada 2019 lalu belanja pegawai mencapai Rp 385 triliun atau 32,4% dari total APBD. Belanja pegawai tersebut meliputi, gaji, honor, tunjangan hingga kebutuhan birokrat seperti uang perjalanan dinas.
Tingginya belanja pegawai dikarenakan jumlah PNS yang relatif tinggi, yaitu 3,2 juta orang dan belum diimbangi dengan reformasi birokrasi yang memadai.
Penyebab lainnya adalah standar tunjangan kinerja dan honorarium yang lebih besar dari standar pemerintah pusat. Untuk honorarium saja nilainya bisa 16-30% lebih besar dari yang ada di pemerintah pusat. Uang perjalanan dinas bahkan 50% lebih besar.
Belanja pegawai pemda menjadi komponen alokasi dasar dalam formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditransfer oleh pemerintah pusat. Ini dianggap tidak searah dengan esensi DAU sebagai alat ekualisasi kemampuan keuangan yang seharusnya berujung pada ekualisasi layanan publik.
Hal ini menjadi tanda bahwa belanja pemda tidak efisien dan produktif. Sebab di sisi lain menggerus porsi untuk belanja publik yang produktif.
Beberapa daerah dicatat Kemenkeu dengan porsi belanja pegawai di atas rata-rata. Di antaranya untuk level kota ada 42 pemda dengan yang tertinggi P. Siantar dengan porsi 47,63%. Terendah di bawah rata-rata adalah Blitar 27,40%.
Selanjutnya level kabupaten ada 226 pemda dengan tertinggi Bangkalan 50,58%. Di bawah rata-rata ada 189 pemda dengan terendah Berau.
Level provinsi ada 20 pemda di atas rata-rata dengan tertinggi Bangka Belitung 35,41%. 14 Pemda di bawah rata-rata dengan yang terendah Jawa Barat 21,42%.
Atas persoalan ini Kementerian Keuangan merancang aturan baru mengenai pengelolaan keuangan daerah atau APBD agar bisa disinkronisasi dengan keuangan pemerintah pusat melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“Kita melihat belum optimalnya porsi belanja APBD di mana belanja APBD cenderung tinggi untuk belanja aparatur dan rendah ke belanja yang sifatnya infrastruktur publik,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, reformulasi pengalokasian DAU dilakukan salah satunya bertujuan untuk mengurangi dominasi belanja birokrasi di daerah dan mendorong penggunaan DAU semakin produktif.
Adanya fakta perbedaan kinerja capaian layanan publik daerah, maka penggunaan DAU akan disesuaikan berdasarkan capaian kinerja layanannya.
“Bagi daerah yang berkinerja baik, penggunaan DAU akan bersifat block grant. Bagi daerah kinerja sedang dan rendah maka penggunaan DAU merupakan kombinasi antara block grant dan specific grant,” katanya. (cnbc/irfan)