JAKARTA, GESAHKITA COM – Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) RI meminta mahasiswa harus cerdas dalam bermedia sosial (medsos). Mahasiswa sebagai pemilih muda dalam pilkada 2020 adalah opinion leader dalam komunitasnya. Terlebih sebagai masyarakat virtual yang kehidupannya bergantung pada gadget.
“Mahasiswa harus waspada dengan era post-truth atau pascakebenaran seolah-olah ada kebenaran dalam dunia virtual. Padahal belum tentu benar,” kata Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI, Widodo Muktiyo, Jumat (13/11/2020).
Widodo menyebutkan, penting bagi mahasiswa untuk memiliki kecerdasan dalam bermedia sosial. Mahasiswa harus mengakses informasi dengan sehat dan mengkritisinya. Sebab, di era post truth, sering kali pengguna media sosial dikecohkan dengan narasi dan gambar yang seolah-olah benar.
Di dunia virtual, tidak ada dewan redaksi. Maka, kontrol kebenaran menjadi tugas individual pengguna media sosial. Untuk menyeleksi informasi hoax, kita harus merespons dan mencerna semua berita dengan kepala dingin.
“Oleh karena itu, kita harus ingat punya hati dan pikiran. Ini membimbing pemahaman kita pada era informasi tersebut,” katanya
Berdasarkan informasi yang dimilikinya, dari sekitar 90 persen berita tidak benar atau hoaks merupakan sesuatu yang disengaja dengan tujuan tertentu.
Dari berita-berita hoaks yang beredar di tengah masyarakat tersebut, dia menyebutkan 61 persennya bersifat menghasut.
“Jadi, tidak akurat datanya, mereka melakukan itu bukan karena iseng tapi disengaja, artinya, siapapun yang menyebarkan berita hoax tersebut bertujuan untuk menghasut. Dalam kondisi inilah, peran mahasiswa dibutuhkan untuk mengkritisi berita-berita hoax tersebut,” tuturnya.
Kemkominfo mencatat setidaknya sebanyak 40 persen generasi milenial akan berpartisipasi dalam pemilihan serentak pada 9 Desember mendatang.
Kuantitas yang cukup banyak tersebut diharapkan diiringi dengan kualitas yang baik. Sehingga mampu menyukseskan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 kabupaten dan kota di Tanah Air.
“Jadi, Indonesia tidak hanya memiliki bonus demografi, tetapi ini juga menjadi bonus di dalam pilkada. Mahasiswa menjadi SDM yang banyak menentukan pemimpin masa depan. Ini kesempatan menentukan pilihan, mudah-mudahan yang terbaik karena pikiran kritis kita,” katanya.
Widodo Muktiyo berharap mahasiswa bisa menjadi agen perubahan yang dimulai dengan memilih para pemimpinnya
Ditempat yang sama Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Jamal Wiwoho mengajak mahasiswa untuk mengawasi jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020.
Ajakan ini, karena Pilkada kali ini digelar di ratusan daerah bersamaan dengan pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia.
“Ini bisa jadi catatan sejarah yang luar biasa. Karena Pilkada melibatkan 270 daerah secara serentak. Sejak kita merdeka, belum ada Pilkada dimasa pandemi,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya, tata cara Pilkada kali ini berbeda dengan tetap mempertahankan 3M dan PPS harus selektif memilih tempat yang akan dijadikan TPS. Sehingga jangan sampai terjadi klaster Pilkada.
Selain itu lanjutnya, jumlah generasi muda, termasuk generasi Z, yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sangat banyak.
Hal ini menjadi sebuah keunggulan, karena generasi muda yang memiliki kemampuan penggunaan teknologi informasi (TI) secara mumpuni dapat berperan secara aktif dalam mengawasi jalannya Pilkada serentak.
Menurut Jamal dalam Pilkada 2020 mahasiswa harus memiliki netralitas, integritas, kemampuan berpikir yang kritis dan objektif, kemampuan memobilisasi ide-ide baru yang konstruktif bagi kepentingan pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik, serta kemampuan sebagai penyeimbang informasi.
“Manakala terjadi kecurangan dalam Pilkada kalian mahasiswa yang bisa aktif untuk melaporkan adanya pelanggaran dan kecurangan di dalam Pilkada,” terangnya
Jamal berharap, mahasiswa sebagai insan intelektual memiliki integritas dan netralitas dan mempunyai independensi. Selain itu juga memiliki komitmen dan loyalitas berjuang bagi rakyat.
Sementara Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sofyan Anif mengatakan, bahwa mahasiswa memiliki karakter potensial sebagai agent of change. Terlebih di masa pandemi Covid-19 ini muncul shock social dan terjadi banyak perubahan di semua sektor kehidupan.
Kecenderungannya dengan adanya pandemi ini bisa saja yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) itu berkurang persentasinya. Inilah agen perubahan bertugas.
“Mahasiswa harus mampu memberikan edukasi dan penjelasan bahwa seluruh warga negara Indonesia berkewajiban menyukseskan pemilu serentak,” pungkasnya. (irfan)