SIDOARJO, GESAHKITA COM—Neraca Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyajikan Barang Milik Negara berupa Tanah yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya. Hal tersebutmenjadi temuan No. 1 atas Neraca dalam LHP SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal. 3 ditulis BPK RI tahun 2018.
Hal tersebut didapati localhost/server/gkx JawaTimur dalam penelusuran tim investigasi nya bahwa, “Pada tahun 2017, BPLS menyajikan aset tanah yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya yaitu berupa Tanah untuk Jalan Tol seluas 1.177.074 m2 di kelurahan Kalitengah s.d Gempol Kecamatan Tanggul Angin senilai Rp 373.328.407.141,00”.
Didapati juga, “ Aset tanah tersebut merupakan tanah yang dibebaskan oleh BPLS sebagai bagian dari kegiatan pembelian tanah yang berada di wilayah luapan lumpur di luar area Peta terdampak yang menjadi beban APBN. Namun sebagian besar dari tanah tersebut seluas 1.137.344 m2 digunakan oleh Jalan Tol oleh PT Jasa Marga”.
BPK juga menerangkan, “Sampai dengan pelaksanaan pemeriksaan, BPLS belum mengalihkan aset ke Kementerian PUPR, sehingga mengakibatkan Tanah untuk Jalan Tol tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi tanah untuk jalan tol oleh Ditjen Bina Marga”.
Sehubungan dengan temuan tersebut, “BPK merekomendasikan Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) agar melaksanakan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Bina Marga dalam rangka serah terima aset tanah untuk jalan tol dan tanah untuk jalan arteri tersebut dari BPLS kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat”.
Selanjutnya BPK juga menulis temuan nya, “Penganggaran Belanja Modal sebesar Rp 5.322.957.900,00 tidak tepat (Temuan No. 1 atas LRA dalam LHP SPI No. 09B/LHP/XVII/05/2018, Hal.14 )
Diterangkan BPK , “Pada tahun 2017, BPLS menganggarkan Belanja Modal sebesar Rp 263.569.005.000,00 dan direalisasikan sebesar Rp 129.493.647.930,00 atau 49,13%. Dari hasil pemeriksaan terdapat permasalahan kesalahan penganggaran yang direalisasikan dari Belanja Modal”.
“Adapun permasalahan tersebut antara lain yaitu terdapat Belanja Modal Peralatan dan Mesin yang direalisasikan untuk kegiatan sewa mobil dalam rangka menunjang kegiatan pengadaan tanah dengan total sebesar Rp 863.483.500,00. Namun atas kesalahan penganggaran tersebut sudah dilakukan koreksi penambahan Aset Tetap Tanah, namun belum dijelaskan pada CaLK”.
Selain itu,”Terdapat Belanja Modal yang direalisasikan untuk kegiatan pembangunan fasilitas sosial antara lain berupa gapura makam, bangunan makam, dan pagar makam dengan total belanja sebesar Rp 4.459.474.400,00. Namun hasil pengadaan tersebut belum diserahkan dan masih tercatat di Neraca sebagai Aset Gedung dan Bangunan pada Bangunan Lainnya.”.
“Kondisi tersebut mengakibatkan Belanja Modal Peralatan Mesin dicatat lebih tinggi dan Belanja Modal Tanah dicatat lebih rendah sebesar Rp 863.483.500,00, serta Belanja Modal dicatat lebih tinggi dan Belanja Barang Diserahkan Kepada Masyarakat/Pemda dicatat lebih rendah sebesar Rp 4.459.474.400,00”,urai LHP BPK tersebut.
Oleh sebab itu, “Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo agar dalam penyusunan anggaran mempedomani ketentuan yang berlaku dan mengoptimalkan peran APIP dalam reviu anggaran”, tulis BPK dalam LHP nya.
Pada bagian lainnya, BPK Jatim mendapati, “Bukti pertanggungjawaban dan realisasi Belanja Sewa Kendaraan Dinas tidak sesuai ketentuan (Temuan No. 2 atas Belanja Barang dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 09C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 4)
Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu terdapat selisih antara uang BBM yang diserahkan dengan uang yang dibelanjakan untuk voucher yang dibagikan sebesar Rp 1.466.100,00. Selisih tersebut terjadi karena tidak seluruh uang tunai yang diberikan penyedia jasa (dengan dasar perhitungan menggunakan liter) dapat digunakan untuk membeli voucher BBM.
Selain itu, realisasi BBM operasional kendaraan sewa sebesar Rp 230.000.000,00 hanya dilengkapi dengan pertanggungjawaban berupa tanda terima voucher kepada masing-masing penanggung jawab kendaraan operasional tanpa ada nomer seri voucher, bukti pembelian voucher dari SPBU untuk BBM kendaraan sewa dan bonggol potongan voucher maupun struk nota print-out dari SPBU juga tidak ada.
Permasalahan lain yang menjadi sorotan yaitu terdapat pemborosan atas realisasi komponen biaya pengemudi dari selisih komponen biaya kontrak dengan upah yang dibayarkan sebesar Rp 151.644.250,00. Pemborosan tersebut terjadi karena upah pengemudi pengganti dan koordinator pengemudi tidak diatur dalam spesifikasi kontrak, serta adanya biaya perbaikan dan pemeliharaan kendaraan belum diperhitungkan kedalam komponen biaya sewa kendaraan.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran belanja sewa senilai Rp 1.466.100,00, adanya potensi pemborosan karena adanya selisih harga kontrak untuk upah pengemudi dengan upah riil yang dibayarkan senilai Rp 151.644.250,00, serta potensi penyalahgunaan penggunaan dana anggaran Voucher BBM senilai Rp 230.000.000,00.
Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasika Kepala PPLS agar menginstruksikan PPK untuk segera menyetorkan kelebihan pembayaran belanja sewa senilai Rp 1.466.100,00 ke kas Negara, dan mengatur dengan jelas hak dan kewajiban PPK dan Penyedia Jasa termasuk syarat pengajuan prestasi pembayaran.
selain itu didapati juga, “Kelebihan pembayaran Pekerjaan Pengaliran Lumpur ke Kali Porong Tahun 2017 terhadap item pekerjaan yang tidak direalisasikan sebesar Rp 94.000.000,00 (Temuan No. 3 atas Belanja Barang dalam LHP Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan No. 09C/LHP/XVII/05/2018, Hal. 8)”.
Diterangkan BPK, “Pada temuan tersebut terdapat permasalahan yaitu adanya item pekerjaan persiapan yang tidak direalisasikan sampai dengan kontrak berakhir, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran terhadap item pekerjaan pengadaan alat komunikasi dan demobilisasi yang tidak dilaksanakan sebesar Rp 94.000.000,00.
“Sehubungan dengan temuan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala PPLS agar menginstruksikan PPK untuk segera menyetorkan kelebihan pembayaran atas item persiapan yang tidak direalisasikan senilai Rp 94.000.000,00 ke kas Negara”.(Pur)