JAKARTA, GESAHKITA COM—Didapati dari Laporan Reporters Without Borders, indeks kebebasan Pers di Indonesia tahun ini berada pada angka 37,4 poin, menempatkan Indonesia pada posisi 113 dari 180 negara yang disurvei.
Posisi tersebut berada dibawah Timor Leste yang berada di peringkat 71 dengan indeks 29,11 poin. Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2020 mencapai 117 kasus, meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya. Sekaligus merupakan yang tertinggi sejak periode pasca reformasi.
Meski begitu, Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 berada di angka 74,92, sedikit meningkat dari tahun 2019 di angka 72,39.
Hal tersebut diungkapakan, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam acara Pelatihan Penyegaran Ahli Pers, yang diselenggarakan secara virtual oleh Dewan Pers, di Jakarta, Jumat (11/6/21) lalu.
“Data BPS juga menunjukkan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia selama kurun waktu antara tahun 2009 hingga 2020 telah mengalami pasang surut, yang mengindikasikan bahwa demokrasi kita saat ini belum berada pada level kemapanan,” ungkap Bamsoet.
Bambang Soesatyo menekankan, pers sebagai pilar demokrasi yang menjalankan fungsi diseminasi informasi bagi publik dan MPR RI sebagai rumah kebangsaan yang menjembatani berbagai arus perubahan, pemikiran, dan aspirasi masyarakat, adalah dua elemen yang saling melengkapi.
Masih kata Bamsoet, Media massa merupakan sumberdaya potensial dalam menyebarluaskan berbagai narasi kebangsaan, untuk memperkokoh penguatan karakter dan jatidiri bangsa, melalui sosialisasi empat pilar MPR RI.
Lebih jauh disebutkannya juga, Berbagai peran media massa dalam membangun demokrasi saat ini telah terimplementasikan dalam berbagai peran penting.
Kata Bamsoet juga, media massa tidak saja semata menjadi institusi penyebarluasan informasi bagi publik, tetapi juga merepresentasikan fungsi kontrol, fungsi kritik, sekaligus memberikan ruang bagi partisipasi publik.
“Maka premis yang dapat kita kemukakan adalah, melindungi pers, harus dimaknai juga sebagai melindungi demokrasi,”tegasnya.
Sementara Laporan Reporters Without Borders mencatat indeks kebebasan Pers di Indonesia tahun ini berada pada angka 37,4 poin, menempatkan Indonesia pada posisi 113 dari 180 negara yang disurvei.
Sebagai data pembanding, rilis yang dipublikasikan The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indeks Demokrasi Indonesia pada peringkat ke-64 dunia, dengan skor 6,3.Meskipun dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun 2019, namun skor tersebut menurun dari skor sebelumnya, yaitu 6,48.
Juga terdapat dalam catatan EIU, Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 tersebut merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
“Keberadaan pers yang merdeka dan independen adalah keniscayaan bagi tegaknya demokrasi. Media massa, baik sebagai institusi publik maupun sebagai institusi sosial, mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah peradaban dan kehidupan ketatanegaraan, media massa tidak saja turut memberi warna, tetapi juga menjadi salah satu elemen penting penopang demokrasi,” tandas Bamsoet.
Setiap karya jurnalistik yang dihasilkan harus selalu berdampak pada dimensi keberpihakan dan pertanggungjawaban terhadap kepentingan publik. Dengan jangkauan dan tingkat aksesibilitas yang luas, media massa adalah mitra strategis pemerintah dalam menyebarluaskan informasi, baik dalam rangka sosialisasi program-program pembangunan, diseminasi berbagai kebijakan publik, maupun dalam upaya mendorong tumbuhnya partisipasi publik.
“Apalagi dengan mempertimbangkan realita bahwa 270 juta penduduk Indonesia hidup tersebar di negara kepulauan, dengan tingkat akses informasi yang terbatas, dan tingkat literasi informasi yang beragam, maka negara membutuhkan pers sebagai partner pemerintah dalam mengedukasi sekaligus memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat,” ujar Bamsoet.
Ia kemudian menyebutkan, Peran strategis pers tidak hanya dalam kerangka membangun literasi publik terhadap berbagai program dan kebijakan pemerintah, namun juga dalam mendorong terbangunnya opini publik yang bersifat suportif, sebagai sumberdaya non-material yang sangat berguna dalam implementasi pembangunan.
“Terlebih di era kemajuan teknologi informasi yang berkembang dengan sedemikian pesat, arus informasi begitu deras menjejali ruang publik melalui berbagai platform digital,”sambungnya.
“Dalam konteks ini, masyarakat perlu memahami mengenai berbagai jenis informasi yang `tidak sehat`, baik yang berupa mis-informasi (penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat), dis-informasi (penyebaran informasi yang salah untuk tujuan tidak baik), serta mal-informasi (penyalahgunaan informasi yang benar tetapi untuk tujuan tidak baik, misalnya menghasut atau memprovokasi),” tutupnya. (red)