SURABAYA, GESAHKITA COM—Sejak pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003, ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai. Isu pemberantasan korupsi menjadi populer, salah satunya karena peran media massa.
Hal tersebut diungkapkan Gilang Gusti Aji, Peneliti pada Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) dalam tulisan Opini nya yang juga menilai bahwa Pemberantasan korupsi dan media massa punya kaitan erat. Korupsi adalah isu sangat ‘seksi’ bagi media.
Pemberitaannya selalu menjadi headline, baik di media cetak, elektronik, maupun daring. Begitu pula kampanye besar pemberantasan korupsi, memerlukan media untuk selalu menjaga energinya di masyarakat. Pada titik itu, beberapa orang meyakini bahwa media memiliki peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi.
Keyakinan tersebut didasarkan pada apa yang ditegaskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam “Sembilan Elemen Jurnalisme” (2001) bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran.
Kebenaran tak cuma soal praktik pencariannya yang tidak boleh berat sebelah (fairness), harus seimbang (balance), akurat (accurate) dan berdisiplin melakukan verifikasi (verification). Kebenaran juga soal komitmen terhadap warga (citizen).
Ada kewajiban untuk selalu bebas dari semua kewajiban kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Kewajiban jurnalisme ini disebut Lasswell dan Wright (dalam McQuail, 1987) sebagai fungsi pengawasan sosial (surveillance), yakni upaya distribusi informasi dan interpretasi obyektif tentang berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, media berkewajiban melakukan pemantauan sosial agar tindak korupsi dapat dicegah jika belum terjadi atau dibongkar jika telah/sedang terjadi. Dalam kampanye pemberantasan korupsi, beragam peran media yang mestinya dapat dimanfaatkan, mulai dari isu pencegahan, pendidikan antikorupsi, hingga penindakan kasus.
Tetapi kita melihat di tengah pemberitaan isu korupsi sangat massif, dominasi pemberitaan tentang penindakan yang lebih mengemuka. Isu ini dieksploitasi secara luar biasa menjadi komoditas penting media massa. Sehingga kemudian ini menyiratkan ada ruang kosong yang ditinggalkan oleh media dalam pemberitaan korupsi.
Dominasi pemberitaan penindakan ini sesungguhnya mengisyaratkan realitas praktik media hari ini. Isu korupsi tak lagi dimaknai sekadar informasi, melainkan menjadi komoditas bagi media massa. Ini seperti apa yang disebut oleh Vincent Mosco (2009) sebagai “komodifikasi”, yaitu perubahan dari nilai guna menjadi nilai tukar. Isu korupsi yang semestinya menjadi informasi yang berguna bagi masyarakat berubah menjadi alat bagi media untuk mendapatkan keuntungan.
Pada konteks komunikasi, yang dilakukan media massa adalah apa yang disebut komodifikasi isi siaran dan komodifikasi audiens. Merujuk Mosco (2009) komodifikasi isi ialah transformasi pesan dari sekadar informasi menjadi produk yang mampu diperjual-belikan. Sementara komodifikasi audiens ialah menempatkan penonton sebagai komoditas utama media massa. Konsekuensinya, media akan berupaya menyajikan berita agar mampu menarik perhatian khalayak. Yang terjadi ialah, gaya pemberitaan yang dramatis, bahkan penuh sensasi.
Biasanya pola ini dilakukan dengan mencampurkan informasi dengan unsur hiburan. Padahal idealnya pemberitaan korupsi identik dengan pola jurnalisme investigatif yang mendalam untuk menelusuri fakta dan membuktikan kecurigaan. Pemberitaan televisi ditujukan untuk mendapatkan rating, sementara media cetak dan daring kerap menyajikan berita yang penuh sensasi untuk mendapatkan angka keterbacaan tinggi.
Angka-angka inilah yang kemudian menjadi nilai tawar di depan pengiklan. Pemberitaan mengenai penindakan lebih menarik perhatian khalayak karena mengandung konflik yang memancing rasa ingin tahu masyarakat. Ketimpangan tema pemberitaan korupsi ini membuat khalayak akan tersedot perhatiannya pada isu isu tertentu.
Kondisi ini sesuai dengan teori agenda-setting media yang dicetuskan Maxwell McComb dan Donald Shaw (dalam Griffin 2003). Media memang punya kemampuan mengatur apa yang dipikirkan oleh publik.
Persoalannya, dengan kualitas pemberitaan korupsi yang penuh dengan dramatisasi dan sensasi kualitas informasi yang diterima publik tidak maksimal. Di sisi lain, kegiatan pemberantasan korupsi tidak hanya soal penindakan, melainkan juga ada sisi pencegahan dan pendidikan antikorupsi. Ceruk ini kerap terabaikan dalam hingar-bingar informasi tentang pemberitaan korupsi. Media pada fitrahnya seperti kata McQuail memiliki tiga peran yaitu to inform, to educate, dan to entertain.
Maka peran mendidik ini memang melekat pada media massa termasuk dalam konteks pemberitaan korupsi. Media semestinya memberikan pengetahuan cukup pada masyarakat tentang makna korupsi, mana yang termasuk tindakan korupsi, bagaimana potensi-potensi tindak korupsi, langkah pencegahan serta pelaporan. Bila masyarakat cukup terdidik, mereka dapat membantu melakukan kontrol atas penanganan korupsi di lingkungannya.
Terakhir, aspek yang tak kalah penting ialah penanaman nilai-anti korupsi di masyarakat, media punya potensi menjalankan itu. Pengaruh media pada masyarakat diyakini mampu mempengaruhi persepsi yang dibangun masyarakat.
Teori kultivasi yang digagas Goerge Gerbner (Littlejohn,2002) menyatakannya keterkaitan media massa dan juga penanaman nilai. Ia berpandangan bahwa media masa punya pengaruh besar dalam penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang akan berpengaruh pada sikap masyarakat tentunya mengenai apa yang ada dalam persepsi dan juga cara pandang masyarakat.
Pemberantasan korupsi merupakan urusan besar, perlu peran dari berbagai pihak termasuk media. Selama ini, memang media telah memusatkan perhatiannya pada isu pemberantasan korupsi. Tetapi seperti uraian di atas, ada ketimpangan dan ada ‘ruang kosong’ yang sebaiknya mendapat perhatian. Keseimbangan peran media membuat masyarakat tak hanya sekadar terpusat pada isu korupsi tetapi juga peduli serta tercerdaskan untuk memaknai korupsi.
Kini, sudahkah media massa kita melakukan itu? kalinya adalah pasca tertangkapnya Mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnanen. DPR berpendapat karena KPK kurang dari lima orang, maka KPK tidak boleh melakukan tugas penyidikan maupun penuntutan terkait perkara korupsi.(**)
Sumber : Anti Corruptian Cleaning House
Uploader : Purwohadi