hut ri hut ri selamat menunaikan ibadah puasa grand fondo
News  

Model baru menunjukkan bahwa rasa iri memicu proses radikalisasi dan mendistorsi persepsi

Model baru menunjukkan bahwa rasa iri memicu proses radikalisasi dan mendistorsi persepsi

JAKARTA, GESAHKITA COM—-Penelitian baru yang diterbitkan dalam Evolutionary Psychological Science mengusulkan model proaktif di mana rasa iri, dengan kapasitasnya untuk mengintensifkan pengawasan terhadap kesenjangan sosial dan mendorong netralisasi kompetitif, membentuk inti dari perilaku radikalisasi.

Dari tahun 2012 hingga 2016, sekitar 4.000 warga dari berbagai kota di Uni Eropa memutuskan untuk bergabung dengan kelompok militan di Suriah.

Keputusan ini, meskipun mengandung risiko, menantang pemahaman tradisional tentang teori tindakan kolektif, yang menyatakan bahwa individu mungkin lebih suka mengambil manfaat dari tindakan orang lain tanpa partisipasi langsung.

Teori radikalisasi tradisional berpusat pada dinamika psikologis dan sosial khususnya, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan diskriminasi yang dirasakan, yang diperkuat oleh peran jaringan radikal yang berpengaruh.

Model-model ini berpendapat bahwa ekstremisme berfungsi sebagai solusi bagi individu yang mencoba melarikan diri dari kenyataan atau mengatasi keadaan buruk mereka, yang dipengaruhi secara signifikan oleh konteks lingkungan dan sosial mereka.

Namun, kerangka kerja ini sering kali mengabaikan elemen proaktif radikalisasi yang terlihat dalam apa yang disebut negara “kesejahteraan” demokrasi liberal Barat.

Peneliti Michael Moncrieff dan Pierre Lienard berpendapat bahwa radikalisasi juga berasal dari pilihan pribadi yang proaktif yang didorong oleh rasa iri, emosi yang menyebabkan individu membandingkan diri mereka dengan orang lain yang memiliki apa yang mereka inginkan.

Tidak seperti kecemburuan, kecemburuan dalam konteks ini memotivasi individu untuk mengubah status rendah yang mereka rasakan atau mengatasi apa yang mereka anggap sebagai keuntungan tidak adil yang dimiliki orang lain.

Mereka berpendapat bahwa emosi yang kuat ini mendorong individu menuju radikalisasi, memilih jalan bergabung dengan kelompok militan sebagai sarana untuk melakukan perubahan, menghindari rute yang lebih tradisional seperti keterlibatan politik atau aktivisme komunitas.

Studi ini menjelaskan bagaimana rasa iri memengaruhi proses radikalisasi di berbagai tingkatan. Awalnya, rasa iri meningkatkan kesadaran individu akan ketidaksetaraan dan mengintensifkan perasaan ketidakadilan mereka.

Kesadaran ini dapat berkembang menjadi kewajiban moral yang dirasakan untuk mengambil tindakan, yang dapat membenarkan dukungan terhadap gerakan ekstremis yang berjanji untuk menumbangkan tatanan sosial yang ada atau memperbaiki ketidakadilan yang dirasakan.

Lebih jauh, rasa iri dapat memperbesar emosi sosial yang terkait dengan penghinaan yang dirasakan, seperti penghinaan atau kebencian, yang mendorong individu lebih jauh ke arah tindakan radikal.

Sementara upaya kontra-radikalisasi tradisional sebagian besar menargetkan faktor ideologis dan ekonomi, penulis berpendapat bahwa mengatasi faktor pendorong emosional dan psikologis sama pentingnya.

Mengembangkan program yang meningkatkan kohesi sosial dan membangun ketahanan pribadi terhadap persepsi ketimpangan yang disebabkan oleh rasa iri dapat memainkan peran penting dalam mengekang radikalisasi.

Pendekatan ini tidak hanya memperluas kerangka konvensional untuk memahami radikalisasi di masyarakat Barat, tetapi juga memperluas perangkat yang tersedia untuk mengatasi tantangan yang terus berkembang ini.

Strategi komprehensif yang memadukan aspek emosional dan psikologis ke dalam model radikalisasi tradisional mungkin penting.

Makalah, “ Dari Rasa Iri ke Radikalisasi ”, ditulis oleh Michael Moncrieff dan Pierre Lienard.

Alih bahasa gesahkita tim