Palembang, GESAHKITA – Di jantung Kota Palembang, tepatnya di Jalan Jenderal Sudirman, sebuah lahan eks bioskop Cineplex menjadi medan tarik ulur antara warisan keluarga dan klaim korporasi. Perkara bernomor 242/Pdt.G/2025/PN Plg yang bergulir di Pengadilan Negeri Palembang bukan sekadar sengketa tanah, melainkan cerminan konflik antara sejarah, hukum, dan kepentingan bisnis.
Raden Achmad Nadjamuddin Bin Raden Machdjoeb, atau yang lebih dikenal sebagai Raden Nangling, melalui ahli warisnya Raden Helmi Fansyuri, kembali mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap sejumlah pihak yang dianggap telah menguasai lahan secara tidak sah. Gugatan ini bukan yang pertama, namun menjadi titik penting dalam perjuangan hukum yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Melalui kuasa hukumnya, Hambali Mangku Winata SH MH, pihak penggugat menuntut agar Akta Jual Beli No. 829/2010 dan No. 831/2010 yang dibuat oleh notaris Henywati Ridwan dinyatakan tidak sah. Akta tersebut, menurut mereka, dibuat atas tanah yang masih berstatus sengketa dan seharusnya batal demi hukum.
Tak berhenti di sana, penggugat juga meminta agar dua Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang tercatat atas nama PT Permata Sentra Propertindo dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Total luas lahan yang disengketakan mencapai lebih dari 10.000 meter persegi. Sebagai bentuk kompensasi, pihak penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp10 miliar atas kerugian materil dan immateril yang mereka alami.
Pada Kamis, 30 Oktober 2025, mediasi kembali digelar di PN Palembang dengan Hakim Samkot Lumban Tobing sebagai mediator. Namun harapan akan titik temu kembali pupus. Pihak principal dari PT Musi Lestari Indo Makmur, yakni Gunawati Kokoh Thamrin, serta notaris Henywati Ridwan dan perwakilan BPN, tidak hadir dalam mediasi meski telah dipanggil secara patut. Hanya kuasa hukum PT Musi Lestari Indo Makmur yang datang mewakili.
Ketidakhadiran para principal ini menjadi sorotan tajam dari pihak penggugat. Hambali Mangku Winata menyayangkan sikap tersebut, mengingat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016 menegaskan pentingnya kehadiran para pihak dalam proses mediasi sebagai bentuk itikad baik.
“Proses mediasi adalah ruang untuk mencari titik temu. Ketika principal tidak hadir, mediator tentu kesulitan mengambil keputusan. Sementara principal kami, Raden Helmi Fansyuri, selalu hadir dari awal hingga akhir,” ujar Hambali.
Lebih lanjut, ia menilai pihak tergugat tidak merespons secara positif usulan perdamaian yang telah disampaikan sebelumnya. Penolakan terhadap resume perdamaian menjadi penanda bahwa mediasi kali ini gagal mencapai kesepakatan.
Dengan gagalnya mediasi, perkara ini akan dilanjutkan ke pokok persidangan. Jadwal sidang lanjutan masih bersifat tentatif dan akan ditentukan melalui relaas juru sita. Di tengah ketidakpastian proses hukum, pihak penggugat tetap berharap agar majelis hakim dapat menegakkan keadilan berdasarkan fakta hukum yang ada.
“Harapan kami sederhana: hak ahli waris atas tanah tersebut dikembalikan. Kami percaya hukum masih menjadi jalan untuk memperjuangkan kebenaran,” tutup Hambali.










