JAKARTA, GESAHKITA COM—Kian banyak program deradikalisasi yang telah diterapkan pemerintah terhadap para narapidana terorisme (napiter), termasuk diantaranya mengundang ulama untuk memberikan pidato atau ceramah dan berdiskusi bersama dengan napiter, namun belum ada yang dapat dibilang efektif.
Para napiter masih meyakini ideologi radikalisme mereka.
Kami dari Ikatan Psikologi Sosial (IPS) mencoba melakukan penelitian guna merumuskan langkah yang dapat menjadi alternatif program deradikalisasi, yakni penggunaan bacaan sastra untuk mengubah pola pikir para napiter.
Begitu tulis Wawan Kurniawan, peneliti dari Universitas Indonesia dinukil gesahkita com laman the Conversation.
“Temuan dari hasil penelitian kami cukup menarik, lanjutnya Kami mendapati perubahan pola-pola pikir napiter yang membaca sastra, dari yang cenderung tertutup (close-minded) menjadi lebih terbuka”.
Membaca sastra menurunkan pola pikir kaku dan close-minded
Perubahan pola pikir para narapidana terorisme pada penelitian tersebut diukur menggunakan skala need for closure, yaitu kecenderungan individu dalam menarik suatu kesimpulan dengan cepat pada pengambilan keputusan serta sulit untuk menerima ketidakpastian.
Semakin tinggi need for closure individu, maka mereka akan semakin cepat mengambil keputusan dan tidak bisa melihat ketidakpastian yang ada.
Mereka cenderung menutup berbagai pilihan saat mempertimbangkan dan menafsirkan berbagai informasi. Proses berpikir mereka tidak mampu menerima ambiguitas maupun menerima berbagai kemungkinan lain yang ada.
Konsep berpikir seperti inilah yang membuat individu dengan need for closure yang tinggi berpeluang lebih besar untuk menjadi teroris.
Masih menurut Wawan Mereka seringkali menarik kesimpulan dangkal atas suatu pemahaman, atau propaganda, ditambah dengan cara berpikir mereka yang kaku dan menolak serangkaian informasi tambahan.
Melalui skema need for closure, kami melibatkan partisipan yang merupakan napiter dari dua Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yakni Lapas I Makassar di Sulawesi Selatan, dan Lapas I Surabaya di Jawa Timur.
Bacaan yang kami berikan berupa cerita pendek yang mengandung unsur cerita dengan tema religius, kebebasan, dan tentang situasi yang penuh ketidakpastian.
Beberapa diantaranya adalah Percakapan karya Budi Darma, Misbahul karya Budi Darma, Matinya Seorang Demonstran karya Agus Noor, Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira A, Lima Kisah Mimpi Kanak- Kanak karya Gus tf Sakai, Penafsir Kebahagiaan karya Eka Kurniawan, dan Angka Kematian karya Amir Syam.
Kami membagi responden ke dalam dua kelompok berdasarkan jumlah cerpen yang dibaca, yaitu kelompok yang membaca empat cerpen dan kelompok lainnya membaca tujuh cerpen.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa narapidana terorisme yang diberikan bacaan sastra menunjukkan penurunan grafik need for closure.
Semakin banyak bacaan yang mereka baca, maka grafiknya semakin menurun. Jenis bacaan sastra dan frekuensi atau waktu membaca mereka juga mempengaruhi hasil grafik.
Dari penelitian kami dapat ditarik kesimpulan bahwa menurunkan need for closure napiter merupakan suatu langkah alternatif untuk mengubah pola pikir para mantan teroris.
Memang, rangkaian proses dan penelitian lanjutan guna membuat temuan ini lebih menjanjikan masih diperlukan, namun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tahap awal untuk merumuskan program deradikalisasi yang lebih efektif.
Mengapa buku sastra?
Sebelum kami melakukan penelitian ini pada narapidana terorisme, kami berangkat dari sejumlah penelitian terdahulu tentang sastra.
Bacaan dan kepribadian sebenarnya punya kaitan yang kuat satu sama lain. Saat ini, sudah cukup banyak penelitian yang mencoba melihat bagaimana sastra dan perilaku manusia dapat saling berkaitan satu sama lain.
Sebuah penelitian psikologi yang dilakukan Emanuele Castano dari Universitas Trento bersama David Comer Kidd dari Universitas Harvard, membuktikan bahwa bacaan sastra memberikan pengaruh dalam meningkatkan kemampuan berempati individu.
Ada pula beberapa penelitian psikologi lainnya yang mengkaji bagaimana sastra dapat mengubah kondisi psikologis seseorang, seperti penelitian yang dilakukan oleh Raymond A. Mar dari Universitas York, Inggris, Keith Oatley, dan Maja Djikic yang keduanya berasal dari Universitas Toronto, Kanada.
Sastra yang baik dianggap mampu memberikan gambaran yang berfokus pada karakter manusia secara psikologis.
Sastra memberikan ruang bagi pembaca untuk membawa kesadaran psikologis tokoh ke dalam dunia nyata, melawan kehidupan yang rumit dan batin yang sulit dipahami.
Secara tidak langsung, kondisi tersebut mengajak seseorang untuk memahami perasan orang lain.
Selain itu, buku sastra juga dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap need for closure.
Individu yang memiliki need for closure yang rendah cenderung memiliki kemampuan berpikir yang lebih imajinatif dan tidak kaku. Kondisi ini berpotensi membebaskan seseorang yang terjerat dalam ideologi radikal.
Tantangan sastra di Indonesia
Salah satu tantangan kita adalah budaya baca bangsa Indonesia yang rendah.
Ini juga menjadi tantangan dalam upaya melawan ideologi kekerasan radikalisme sejak dini lewat karya sastra.
Sistem pendidikan kita yang hanya terpaku pada urusan kognitif semata juga sulit untuk berkontribusi dalam melawan kekerasan sedini mungkin. Ruang afektif yang membantu kita belajar untuk lebih imajinatif, empati, atau peduli terhadap sesama kerap terabaikan begitu saja.
Membaca sastra akan menjadi pilihan yang patut untuk dicoba demi menumbuhkan atau membuka ruang-ruang tersebut.
Di masa depan, kami berharap bisa memberikan temuan yang lebih menarik tentang bagaimana bacaan sastra mampu menjadi jawaban dari permasalahan program deradikalisasi yang ada.
Sumber : The Conversation