selamat natal dan tahun baru pelantikan bupati

BEKAKAK TUNGKAK

BEKAKAK TUNGKAK

Cerpen Oleh : Marlin Dinamikanto

Dia tahu siapa saja yang sering membuang sesajen ingkung dan rokok kemenyan di Jembatan Tungkak.Maka setiap Kamis Kliwon, Selasa Legi, Jum’at Pahing atau Minggu Pon dia sering pura-pura mancing di bawah jembatan.

Tak lama kalau hari Kamis Kliwon terdengar dhun dhun suara Norton berhenti di atas jembatan, itu ingkungnya yang paling lezat.

Nah, Paidi tidak pernah melewatkan mancing di hari yang dia hafal benar kapan orang membuang ingkung. Para pembuang ingkung pun tahu betul kapan jam paling sepi untuk beroperasi. Menyadap omongan teman-temannya yang sering main ceki di pos ronda, hajat yang diinginkan pembuang ingkung akan ngabar (gagal) kalau tindakannya diketahui orang.

“Mbah Dhanyang akan enggan menyantapnya kalau ingkung yang dipersembahkan kepadanya diperawani orang. Rokok kemenyan pun enggan diisapnya,” kata Kang Parman yang paling hafal rapalan sedulur papat lima pancer setiap gendurenan (kenduri) di kampungnya.

Padahal ingkung itu enak. Satu ayam utuh dibumbui aneka rempah. Paidi yang setiap hari pekerjaannya mengayuh becak dengan penghasilan rata-rata Rp30 ribu per hari tak pernah mampu membeli, jangankan ingkung, satu ayam utuh dengan kepala dan leher melingkar di atas dada dan sayap, membeli ayam goreng paha atau dada yang harganya Rp 8 ribu saja tidak mampu.

Apa lagi ketiga anaknya, tertua 8 tahun, kedua 5 tahun, dan ketiga 3 tahun, makannya begitu lahap kalau lauk ingkung. Seperti bebek diransum dhedhak dan bekicot.

Setidaknya ada kebahagiaan kecil di keluarganya setiap Paidi pulang membawa ingkung.
Ingkung itu, kata Kang Parman yang juga membuka praktik perdukunan di rumahnya, harus dibuang ke tempat-tempat ramai dan banyak dilewati orang seperti jembatan, perempatan, pasar atau terminal.

Hanya saja saat menaruh ingkung harus di jam-jam sepi. Tak boleh siapa pun yang tahu saat menaruh ingkung.
Ini pula yang membuat Paidi mengintai dari bawah jembatan. Pura-pura mancing.

Maka dia pun hafal jadwal siapa-siapa saja yang menaruh ingkung di trotoar Jembatan Tungkak.

Kamis Kliwon lelaki tinggi besar bermotor moge lawas, Selasa Legi mbak-mbak berkebaya yang jalan kaki, Jumat Pahing mobil box warna silver, dan Minggu Pon mbak-mbak bersepeda motor bebek.

Tapi Paidi tidak pernah melihat wajah, hanya sosok lelaki atau perempuan yang berkelabat di atas jembatan.

Dalam rentang selapan atau 35 hari Paidi 4 kali membawa ingkung ke rumah. Sehingga ketiga anaknya tidak stunting – kurang gizi – seperti umumnya anak-anak keluarga miskin perkotaan.

Untuk itu Paidi sering mendoakan agar siapa pun yang menaruh ingkung dijabah keinginannya. Bisa menjadi promosi bagi yang lain agar berlomba-lomba menaruh ingkung di trotoar Jembatan Tungkak.
***
Sudah hampir setahun, mas Bambang yang brewok bertubuh besar dengan kaos oblong “Harley-Davidson” lusuh menaruh ingkung di Jembatan. Tapi rejekinya masih saja seret. Rumahnya yang di Jl. Sorosutan sudah disita bank.

Begitu juga dengan cucian mobil yang menempati pekarangan rumah warisan orang tuanya di Mergangsan. Satu-satunya asset yang tersisa hanya odhok Norton yang bunyinya dhun dhun dhun.

Begitu juga dengan Sumilah yang kerap dipanggil mbak Sum.

Sejak suami sirinya minggat dia harus menghidupi tiga orang anak yang lagi butuh-butuhnya biaya. Tertua kelas 3 SMA, adiknya kelas 1 SMK dan si bungsu kelas 2 SMP.

Memang ketiganya bukan anak dari suami siri, melainkan dari suami terdahulu yang minggat karena tidak mampu membiayai kebutuhan hidupnya.

Sumilah pun minta bantuan Kang Parman agar suami sirinya – seorang kontraktor yang berburu proyek di sejumlah kabupaten – pulang. Tapi hingga enam kali Selasa Legi membuang ingkung suami sirinya tidak juga pulang.

Bahkan semua nomer teleponnya sudah diganti dan semua akun media sosial sudah tidak aktif.

Satunya lagi Tukiran pengemudi box yang diam-diam naksir anak juragan. Meski pun hanya sopir dengan gaji Rp 2 juta sebulan Tukiran merasa dirinya tampan.

Berharap anak juragan yang belum menikah meskipun sudah berumur 42 tahun terpikat padanya. Eh, sudah sembilan ingkung dibuang tapi anak juragan itu sikapnya masih biasa-biasa saja.

Bahkan Tukiran mendengar kabar anaknya juragan pacaran dengan duda anak lima pemilik toko mainan anak di Bausasran.
Yang terakhir, Yu Narni yang usaha angkringan di dekat Museum Perjuangan. Sudah dua tahun dia terlilit pinjaman online – berharap angkringannya laris sehingga dia mampu membayar utang yang tadinya Rp3,5 juta bengkak menjadi Rp17 juta.

Namun hingga 7 kali Minggu Pon membuang ingkung angkringannya malah sepi. Mungkin saja karena Pandemi, banyak mahasiswa yang tidak kos lagi setelah belajar secara online.

Tapi, masak sih mbah Danyang tidak bisa menggerakkan hati pembeli yang tersisa datang ke angkringannya.

Singkat cerita, keempat klien Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk, lewat pengacaranya melayangkan somasi, agar Kyai Parman menjelaskan kenapa ingkung-ingkung yang dipersembahkan kepada mbah Danyang Haur Koneng itu tidak mengubah keadaan.

Jangan-jangan Kyai Parman sudah tidak dipercaya lagi oleh Mbah Danyang, atau lama tidak tirakatan sehingga mbak Danyang pulang ke Pameungpeuk?

“Angkringan saya malah tambah melik-melik, piye to?” gugat Yu Narni yang karena somasinya tidak dijawab, dengan mengajak Tukiran dan Sumilah mendatangi rumah Kyai Parman di Gang Lowanu.

“Bojoku minggat ora bali-bali (Suamiku pergi tak pulang-pulang),” timpal mbak Sum.
“Saya tidak mau jadi Lesmana Wuyung,” lanjut Tukiran teringat kisah Lesmana – anak Prabu Duryudana yang lamaran kawinnya selalu ditolak gadis yang diincarnya.

“Njenengan itu dukun mbelgedes,” teriak mbak Sum saat Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk keluar dari pintu rumahnya.

“Sabar.. sabar.. mas Tuk, mbak Sum, Yu Narni. Apakah waktu menaruh ingkung njenengan yakin tidak ada yang melihat? ” ucap Kyai Parman berkilah.

“Yakin, saya sudah survei lokasi sebelumnya. Tengok kanan kiri muka belakang. Sepi. Tidak ada orang. Tukang becak pun sudah tidak ada yang melintas,” tutur Tukiran sambil bergantian membaca wajah dua perempuan di kiri dan di kanannya.

“Betul itu,” sambung Yu Narni
“Saya pun idem dito sama mas Tukiran,” sahut mbak Sum.
“Alah nggaya, pakai idem dito segala,” timpal Yuk Narni seraya mencubit pinggangnya yang mekar.

“Yakin saat menaruh ingkung tidak dilihat orang?” tanya Kyai Parman.

“Haqqul yakin,” jawab ketiganya serentak.
“Bagaimana dengan kamera CCTV?”
Ketiganya terkesiap. Saling bertatap. Dari kejauhan terdengar suara dhun dhun. Mas Bambang pastinya.

“Maaf saya terlambat,” katanya dan langsung bergabung ketiga rekannya yang bernaung di bawah Komite Aksi Korban Perdukunan (KOAKOP).
“Piye.. piye…,” kata mas Bambang.

“Kita yang salah, mas. Apes,” jawab mbak Sum.
“Kok salah?” tanya mas Bambang.
“Aksi kita rupanya diintai kamera CCTV,” sahut Tukiran yang lemes saat melihat Kyai Parman menyodorkan flashdisk – mungkin isinya rekaman CCTV.

“Mari kita sama-sama lihat rekaman CCTV bagaimana nasib ingkung kita,” ajak Kyai Parman seraya mengajak tamu-tamunya merapat ke televisi digital miliknya.

Lewat TV digital itu Kyai Parman memutar rekaman CCTV yang didapat dari ruko di sekitar Jl. Kolonel Sugiyono.
Dari rekaman kamera CCTV itu terlihat wajah Paidi mengendap-endap dari bawah jembatan kemudian mengambil ingkung di dalam besek yang tergeletak di trotoar jembatan. Ingkung itu dimasukkannya ke dalam sarung. Sambil membawa pancingan dan sarung Paidi pergi ke arah Jl. Harmoni Raya.

“Jindhul, Paidi to mbah Danyangnya?” seketika Tukiran yang mengenalnya nyaris berteriak.

“Tenang bapak-bapak, ibu-ibu, Ingkung masih bisa diselamatkan kalau Paidi mau menyerahkan jiwa raganya.

Kalau tidak tiga orang anaknya bisa menjadi korban keganasan mbah Danyang. Dia harus menjadikan dirinya bekakak Tungkak,” saran Kyai Parman.

“Caranya?” tanya mas Bambang.
“Kita surati dia supaya mau menceburkan diri dari atas Jembatan saat Kali Code banjir, atau membiarkan anaknya satu per satu dimakan mbah Danyang,” papar Kyai Parman.

“Bagus juga itu. Ayo segera kita mulai. Makin cepat makin bagus,” tandas mas Bambang.
****
Paidi bingung. Dia merasa tidak nyolong. Melainkan hanya nemu ingkung di trotoar. Tapi kok ada yang merekamnya.

Sehingga dia menerima surat ancaman agar menyerahkan jiwa raganya atau anaknya satu per satu dimakan mbah Danyang.

“Oh, tidak. Biarkan saya saja yang jadi korban. Tapi kalau saya dimakan mbah Danyang siapa nanti yang memberi makan tole dan gendhuk.

Memang, mereka dhokoh makan ingkung karena dari kecil hanya makan mie instan, tapi kalau nyawa saya paduka ambil siapa yang nanti memberikan mie instan anak-anak saya mbah Danyang!” protes Paidi sebelum membebatkan kain hitam di kepalanya, di tengah hujan deras di atas jembatan Tungkak.

Tapi mungkin harus begitu jalan hidupnya. Orang yang terlahir miskin sejak embah-embahnya, mungkin tidak boleh menikmati kemenangan kecil, sebatas membawa ingkung ke rumah. Dinikmati dengan lahap oleh ketiga anak dan istrinya yang sejak lahir selalu kalah.

Paidi ingat waktu sekolah yang raportnya selalu banyak warna merah. Bagaimana tidak merah?

Saat anak-anak sebayanya belajar Paidi harus buruh nyemir sepatu ke stasiun Lempuyangan. Pulangnya capai, tidur, maka dia berhenti sekolah karena merasa dunianya tidak di sana.

Dunianya di jalanan yang kalau tidak bergerak mampus lah dia. Ora obah ora mamah.

Sekarang Paidi pasrah. Menyerahkan jiwa raganya kepada mbah Danyang. Bayangan gendhuk dan tole masih menjepit kelopak matanya.

Hujan bertambah deras. Paidi bertekad mengorbankan dirinya supaya nyawa gendhuk dan tole tidak digaglak Mbah Dhanyang.

Kaki kanannya sudah menapak pagar pembatas jembatan saat tiba-tiba kedua lengannya dicengkeram kuat-kuat dari kedua sisi.

Mereka pun melepaskan kain hitam di kedua matanya. Tampak keempat orang memohon-mohon sambil berlutut agar Paidi mengurungkan niatnya.

Oh, Kang Parman yang mereka sebut Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk juga ada di sana. Juga lelaki tinggi besar, satunya lagi Tukiran sopir box yang sudah dikenalnya dan dua perempuan yang selama ini hanya dilihatnya dari kejauhan.

Mereka memohon-mohon agar Paidi mau memaafkan apa yang mereka perbuat. Mungkin itu kehendak mbah Danyang tapi mbah Danyang sendiri sudah membatalkan perintahnya, paling tidak itu kata Kang Parman.

“Biar bagaimana ini sudah kehendak mbah Danyang. Saya tidak mau nyawa ketiga anak saya digaglak Mbah Dhanyang,” kata Paidi, tetap meronta hendak menceburkan diri ke sungai.

“Percaya aku Di, kakangmu ini sudah sowan mbah Danyang. Dia sudah merelakan ingkung-ingkungnya kau ambil.

Mbah Danyang prihatin, di kota pelajar yang banyak turis ini masih ada orang seperti kamu yang tidak mampu beli daging ayam. Ngisin-isini Kanjeng Sinuhun. Sudah, sana, pulang, temui anak-anakmu,” kata Kang Parman.

Mas Bambang menggenggam jemarinya, amplop putih yang terbenam di telapak tangannya yang besar berpindah ke genggamannya.

“Terimalah iuran dari kami. Maaf, seadanya. Karena kami pun juga sedang sulit,” ucapnya berwibawa, mewakili ketiga rekan lainnya memberinya santunan Rp200 ribu.

Paidi terharu menyambut kemenangan kecil yang datang padanya. Mungkin ini sudah kehendak mbah Danyang. Mungkin, karena Paidi hanyut dalam bayang kebahagiaan saat melihat ketiga orang anaknya melahap daging ayam di mulutnya. (*)

Bogor, 7 November 2021

 

Tentang Penulis:
Marlin Dinamikanto lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1967 lama berkecimpung di dunia jurnalistik – terutama pers alternatif antara lain reporter Tabloid Serasi (1988), penterjemah freelance Fista FMTV (1989-1990) pimpinan redaksi Kabar dari Pijar/ KdP (1995-1999); Redpel Tabloid Bongkar (1998); Redaktur Tabloid Siaga (1999); Redpel Media Regional Jambi (2003-2004); Tabloid OPSI (2006-2008) dan lainnya. Telah menulis sejumlah buku – Ibadah Haji Para Tokoh, Perjuangan Merebut Benteng Keadilan, Kiprah Bang Zul Membangun Jambi. Cerpen-cerpennya pada era 1980-an dimuat di Harian Umum Pos Kota, Tabloid Serasi dan lainnya.

Dia juga terlibat dalam sejumlah Antologi Puisi Bersama seperti Banjarbaru (2018): Dari Negeri Potji (Negeri Bahari 2018; Pesisir 2019; Rantau 2020; Khatulistiwa 2021) Tembi Rumah Budaya (2019; 2020 dan 2021); dan lainnya. Selain itu juga menerbitkan Antologi Puisi Tunggal “Yang Terasing dan Mampus” 2018 dan “Menyapa Cinta” 2020.

Rekening
BCA 1652162384 Marlin Dinamikanto
Alamat:
LBH KEADILAN BOGOR RAYA
Jl. Parakan Salak No 1; desa Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

 

Tinggalkan Balasan