GESAHKITA – Sudah sepantasnya kita menyambut baik pernyataan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, mengenai komitmen untuk mereformasi total Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan nada optimis yang hati-hati.
Komitmen ini muncul bukan dari kesadaran internal, melainkan sebagai respons atas citra negatif yang kronis di mata publik dan atensi serius dari Presiden Prabowo Subianto.
Menkeu Purbaya menjanjikan perbaikan signifikan dalam waktu satu tahun, namun nada ancaman yang menyertainya justru mengungkap sejauh mana masalah ini telah berakar.
Ancaman Penggantian: Sebuah Alarm Keras yang Terlambat?
Purbaya secara gamblang mengungkapkan skenario terburuk. Kegagalan reformasi akan berujung pada penggantian DJBC oleh perusahaan asing, Societe Generale de Surveillance (SGS), sebuah deja vu pahit era Orde Baru.
Ancaman ini bukanlah gertakan semata. Kegagalan reformasi dapat merumahkan 16.000 pegawai karena konsekuensinya sangat masif.
Meskipun ancaman ini berhasil memicu semangat perbaikan, terbukti dengan klaim bahwa pegawai kini bekerja keras.
Pertanyaannya adalah mengapa harus menunggu hingga ancaman pemecatan massal muncul baru kemudian terjadi pergerakan serius?
DJBC seharusnya memikul tanggung jawab reformasi struktural dan kultural secara konsisten, bukan menjadikannya reaksi panik terhadap tekanan dari atasan atau kecaman publik.
Ancaman SGS sejatinya mencerminkan kegagalan mereka mengawasi dan membina selama bertahun-tahun, sehingga ribuan pegawai kini harus membayar mahal.
Teknologi Vs. Mentalitas: Apakah AI Cukup?
DJBC mengusung langkah konkret berupa penerapan sistem kecerdasan buatan (AI) di pos-pos mereka untuk mendeteksi praktik kotor seperti underinvoicing.
Secara teknis, ini adalah langkah maju yang esensial. Teknologi, dengan kapasitas analitisnya, memang mampu memotong jalur korupsi yang mengandalkan interaksi manual dan human error (atau kesengajaan).
Namun, kunci keberhasilan reformasi DJBC tidak hanya terletak pada seberapa canggih sistem AI yang digunakan, tetapi pada perubahan mentalitas pegawai.
AI dapat mendeteksi kecurangan, tetapi hanya komitmen moral dan integritas dari 16.000 pegawai yang akan menghentikan niat untuk berbuat curang sejak awal.
Jika akar masalahnya adalah budaya permisif terhadap suap dan maladministrasi, teknologi hanya akan menjadi lapisan cat baru pada struktur yang keropos.
Reformasi harus mencakup penindakan tegas tanpa pandang bulu, evaluasi kinerja yang transparan, dan peningkatan kesejahteraan yang proporsional dengan tanggung jawab.
Setahun Waktu Jeda: Jangan Sampai Reformasi Tertunda
Permintaan waktu satu tahun kepada Presiden agar “enggak diganggu dulu” memberi DJBC ruang bernapas untuk fokus. Namun, Bea Cukai tidak boleh menyalahartikan jeda ini sebagai alasan untuk berlama-lama.
Dalam konteks ekonomi dan kepercayaan publik, satu tahun adalah waktu yang lama. Masyarakat dan pelaku usaha membutuhkan kepastian dan pelayanan prima sekarang juga.
Optimisme Menteri Purbaya bahwa “Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional” patut kita dukung. Namun, Bea Cukai perlu mendudukkan publik sebagai pemantau aktif alih-alih sekadar penonton pasif, serta memastikan reformasi ini transparan dengan indikator kinerja (KPI) yang jelas dan terukur, bukan sekadar janji-janji manis.
Peluang emas telah diberikan. Reformasi DJBC bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak. Konsekuensi terburuk yang pernah terjadi di masa lalu bisa terulang, jika tidak cukup untuk memicu perubahan fundamental.
Saatnya bagi DJBC membuktikan bahwa mereka bukan hanya pintar, tetapi juga berintegritas dan siap bekerja tanpa harus diancam.










