idul fitri, dprd kabupaten pasuruan

Faisal Basri Setuju Dengan Pernyataan Mahfud MD Hingga Indeks Indonesia Turun 102

JAKARTA, GESAHKITA COM–Pemberitaan dari pernyataan Mahfud MD merespons terkait polemik 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terancam dipecat karena tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN), mendapat cuitan setuju dari Pakar Ekonomi Faisal Basri.

Dimana diberitakan Mahfud MD merespon persoalan yang terjadi di KPK tak sepenuhnya merupakan keputusan pemerintah, tetapi juga di tangan partai politik hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Keputusan tentang KPK itu tidak di pemerintah saja, ada di DPR, partai dan civil society ini akan pecah juga,” ungkap Mahfud MD dalam diskusi dengan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) serta sejumlah pimpinan universitas di Yogyakarta yang ditayangkan di YouTube UGM, Sabtu (5/6/2021)

Untuk itu, Mahfud meminta agar masyarakat tak hanya menyalahkan Presiden Joko Widodo atas upaya pelemahan terhadap Komisi Antirasuah itu.

Menurut nya, Presiden telah berkomitmen untuk memperkuat KPK. Salah satunya, saat Presiden hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK.

Namun pada saat itu, kata Mahfud, keputusan itu tidak disetujui baik oleh DPR maupun partai.

“Ketika Presiden mengeluarkan Perpu untuk Undang-Undang itu kan hantam kanan kiri. Bahwa DPR tidak setuju dan partainya tidak setuju. Bagaimana ingin mengeluarkan Perppu tapi ditolak, artinya permainan ini tidak mudah,” ungkap Mahfud.

“Tetapi saya sama seperti bapak dan masyarakat, mendukung KPK itu harus kuat dan oleh sebab itu tinggal bagaimana menguatkan itu,” imbuhnya.

Mahfud MD juga menegaskan bahwa dirinya pro terhadap Lembaga Antirasuah itu. Hal itu setidaknya ditunjukkan saat dirinya menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

“Saya sejak dulu pro KPK. Saya ketua MK, 12 kali itu (KPK) ingin dirobohkan Undang-Undangnya dan saya bela dan menangkan KPK terus,” tegasnya.

Polemik di tubuh KPK terkait penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih fungsi status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih terus bergulir.

Berdasarkan hasil tes tersebut KPK telah melantik 1.271 pegawainya menjadi ASN. Namun, sebanyak 51 pegawai tetap diberhentikan karena dianggap Tak Memenuhi Syarat (TMS) dan punya rapor merah.

Sementara 24 pegawai diberi kesempatan menempuh pendidikan kenegaraan dan wawasan kebangsaan untuk bisa dilantik menjadi ASN.

CUITAN FAISAL BASRI

Sementara cuitan  Faisal Basri mengaku sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengenai kondisi korupsi Indonesia yang dinilai lebih gila dibandingkan zaman orde baru.

Sebelumnya beredar pernyataan Mahfud MD saat menjadi pembicara di acara dialog yang disiarkan di kanal YouTube Universitas Gadjah Mada bertaju, Dialog Menko Polhukam Perkembangan Situasi Aktual Politik, Hukum dan Keamanan, pada Sabtu, (5/6/2021).

Melalui akun Twitter miliknya @faisalbasri, Faisal menyebut korupsi saat ini jauh lebih vulgar. “Sepakat, pak Mahfud MD. Lebih vulgar,” kata Faisal seperti dikutip Suara com, Minggu (6/6/2021).

Faisal menilai para koruptor saat ini semakin santai dalam beraksi karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dilemahkan.

“Koruptor semakin berani karena KPK telah dilemahkan,” ucapnya.  Meski demikian, Faisal mengaku tak sepaham jika korupsi dikatakan sebagai dampak dari demokrasi.

Sebaliknya, korupsi terjadi akibat adanya kemerosotan demokrasi yang dibarengi dengan menurunnya indeks persepsi korupsi.

TRANSPARENCY INTERNATIONAL MERILIS INDEKS KORUPSI NEGARA DUNIA

Sebelum nya kantor Berita jerman DW memberitakan dengan Tajuk, “Transparency International: Makin Lemah Demokrasi, Makin Tinggi Korupsi”

Dalam laman DW tersebut ditulis yang mengutip pernyataan Transparency International dalam laporan terbarunya menyatakan, luasnya korupsi berkaitan dengan pengembangan demokrasi. Ranking Indonesia sedikit membaik ke posisi 89 (2018), dari sebelumnya 96 (2017).

Organisasi anti korupsi Transparency International dalam laporan terbarunya yang dirilis hari Selasa (29/1) di Berlin menyebutkan, tingkat perkembangan demokrasi berkaitan dengan tingkat korupsi di suatu negara.

Transparency International secara rutin merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari 180 negara. Dalam laporan terbaru CPI 2018, posisi Indonesia sedikit membaik ke ranking 89, dari sebelumnya 96. Namun Indonesia tetap berada di peringkat bawah, masih di bawah Cina, Serbia dan Bosnia-Herzegovina.

Dalam laporan CPI 2018 Transparency juga memeriksa kaitan antara perkembangan demokrasi dengan tingkat korupsi di suatu negara. Negara-negara seperti Hongaria dan Turki menjadi lebih korup karena mereka menjadi lebih otokratis. Bahkan di Amerika Serikat korupsi makin buruk, dan AS terlempar dari posisi 20 teratas.

Secara keseluruhan, Denmark dinilai sebagai negara terbersih dan menduduki peringkat satu, diikuti oleh Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiss. Selanjutnya diikuti oleh Norwegia, Belanda, Kanada, Luksemburg yang masuk 10 besar. Jerman berada di peringkat 11.

Somalia berada di peringkat terbawah sebagai negara paling korup. Diikuti oleh Suriah, Sudan Selatan, Yaman, Korea Utara, Sudan, Guinea-Bissau, Guinea Ekuatorial, Afghanistan dan Libya.

Masih mengutip laman DW yang juga ditajuki, “Transparency International: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Anjlok ke Ranking 102”

Ditulis di DW ini, yang mengutip juga laporan terbaru Transparency International yang dirilis Kamis (28/1), Indeks korupsi (CPI) Indonesia tahun 2020 anjlok ke posisi 102 dari 180 negara. Tahun 2019 Indonesia masih ada di ranking 85.

DW menulis yang dirilis oleh Transparency International dalam laporan tahunan terbarunya yang melukiskan gambaran suram tentang bagaimana korupsi merusak respons COVID-19 di banyak negara tahun lalu dan mengikis lembaga-lembaga demokrasi.

Karena itu, laporan Corruption Perception Index (CPI) 2020 yang dirilis Kamis (28/1) diberi motto: “Korupsi Bisa Membunuh Manusia”

Disebutkan nya juga bahwa, Transparency International meneliti korelasi antara tingkat korupsi dan tanggapan negara-negara terhadap pandemi virus korona pada tahun 2020.

Studi ini menyoroti dampak korupsi pada tanggapan pemerintah terhadap dan melihat bagaimana korupsi telah berdampak pada banyak negara dalam hal investasi dalam sistem perawatan kesehatan dan sejauh mana norma dan lembaga demokrasi telah dilemahkan selama pandemi.

Transparency International mengatakan, korupsi menjadi lazim dalam langkah respons COVID-19, dari suap untuk tes Covid-19, suap di bidang perawatan kesehatan hingga korupsi di pengadaan persediaan medis untuk publik.

“Apa yang Anda lihat adalah bahwa pengadaan peralatan perlindungan – masker, ventilator dan sebagainya – tidak ditangani secara transparan,” kata Daniel Eriksson dari Transparency International, kepada DW. “(Pandemi) sangat menarik bagi orang-orang yang korup untuk menyedot uang ke dalam kantong mereka sendiri, sehingga membuat diri mereka kaya dengan mengorbankan penduduk pada umumnya – korupsi dalam kasus ini benar-benar membunuh orang,” tegasnya.

Denmark negara terbersih korupsi, Indonesia melorot ke ranking 102

Tiga negara dengan tingkat persepsi korupsi terendah adalah Denmark, Selandia Baru dan Finlandia, sementara di peringkat terbawah ada Sudan Selatan, Somalia, dan Suriah.

Sedangkan Indonesia yang tahun 2019 masih meraih skor 40 dan menempati ranking 85 dari 180 negara, anjlok hampir 20 posisi ke peringkat 102, dengan skor 37. Sementara India yang meraih skor 40 sekarang berada jauh di atas Indonesia, yaitu di ranking 86.(irfan/goik)

Tinggalkan Balasan