Berita hari ini, Situs terpercaya dan terupdate yang menyajikan informasi kabar harian terbaru dan terkini indonesia.
Indeks
selamat natal dan tahun baru hut ri

Unsur Feminisme Dan Motif Agama Dalam “ Wanitaku” Anto Narasoma

PALEMBANG, GESAHKITA COM—Satupena Sumsel baru saja dikukuhkan dan dipilih sebagai Koordinator Satupena Sumsel adalah Sastrawan Sumsel yakni Anwar Putra Bayu (Mas Bayu).

Terungkap dalam tujuan berdiri Satupena Sumsel di Bumi Sriwijaya yang disampaikan “Mas Bayu”, kepada awak media,  selain rakyat Sumsel sudah mengenal literasi semanjak 600 tahun silam yang disebut  sebagai bukit kongrit tepat nya di zaman Sriwijaya Berkuasa dengan tulisan hurup palawa Prasasti Talang Tua dan prasati Kedukan Bukit, Mas bayu juga menyebutkan bahwa Satupena Sumsel terbuka guna menjaring penulis dari berbagai macam genre dan usia yang berbeda beda.

Anwar Putra Bayu, dalam sebuah karya dan panggung baca puisi saat keadaan normal sebelum pandemi
Anwar Putra Bayu, dalam sebuah karya dan panggung baca puisi

Maka termotivasi dengan moment bersejarah bagi Satupena Sumsel (Pengukuhan Pengurus) itu redaksi media ini, ingin rasa nya mencoba coba mengulang pelajaran Sastra semasa kuliah 20 tahun silam.

Seperti tertulis dijudul, “Unsur Feminisme Dan Motif Agama Dalam “ Wanitaku” Anto Narasoma”, yang diberi catatan waktu penulisan oleh sang Penulis Puisi (Bang Anto) yakni Palembang, 18 September 1998 tentu nya secara sejarah peristiwa besar juga telah terjadi di Indonesia yang dikenal dengan kerusuhan 1998 atau ada lagi disebut dengan kelahiran reformasi atau tuntutan untuk mengakhiri penguasaan Orde Baru serta masih banyak lagi sebutan yang lainnya untuk peristiwa besar di tahun 1998 itu.

Redaksi mengaku tidak membawa tulisan ini dengan analisa mendalam melalui  literature review begitu serius sebab hanya dengan browsing internet saja lalu copy dan paste sudah pasti muncul ide ide apa saja bakal dituangkan dalam “Unsur Feminisme Dan Motif Agama Dalam “ Wanitaku” Anto Narasoma” ini.

Sekedar tambahan sedikit yang berpijak pada sejarah penulisan di tahun 1998 tersebut (meski tulisan ini tidak dibawa dalam Historical Approach/pendekatan sejarah), bahwa pasca reformasi  terdapat banyak gerakan social yang ditampung arus gerakannya oleh pemerintah berkuasa setelah reformasi kal itu yakni di era pemerintahan Presiden Alm Abdurahman Wahid (Alm Gusdur) dan Wakil nya Mega Wati Soekarno Putri.

Diantara penampungan gagasan untuk Negara Indonesia menjadi Negara yang benar benar demokratis melalui demokratisasi nya yakni terlahir lembaga lembaga independent, Seperti KPU, KPK, MK, KY, Komisi Perlindungan Ibu dan Anak, Komnasham, KIP dan lain sebagainya.

Secara analisa motif dasar apresiasi sastra, redaksi juga tidak melibatkan analisa “Motif Cinta”, namun tidak bisa dibantah Bahwa Sang Penulis Puisi “ Wanitaku” (Anto Narasoma) tentu memiliki cinta yang mendalam kepada para wanita yang dia karakterkan dalam “Wanitaku”.

Misalnya pada bait, “Wanitaku jasad di dalam sajakku
rumpun diksi dan bahasa kias tentang dia adalah ruang-ruang kelahiran diriku”

ibunda hawa, ibuku dan istri tercinta, wanita dalam gelombang sejarah kehidupanku”.

Pada Frasa “Ibunda hawa” tentunya sang penulis sadar betul bahwa sosok wanita dan bahkan manusia di dunia ini adalah berasal dari Ibunda hawa, dari keyakinan agama yang penulis yakini.

Kemudian pada frasa “istri tercinta” misal nya Anto Narasoma dengan lugas menampilkan Frasa “Istri Tercinta”dan bukan kah itu “ Motif Cinta”  nya seorang Anto Narasoma kepada sang Istri bahwa Istri tentu tersirat “Wanitaku” ada sang Istri sebutan atau lebel Sosok perempuan dia nikahi secara Agama dan administrasi Negara.

Literary Review Seadanya Tentang “ Unsur Feminimisme” dan “ Motif Agama”

Redaksi hanya mengandalkan Wikipedia saja dalam analisa sederhana dalam tulisan, “Unsur Feminisme Dan Motif Agama Dalam “ Wanitaku” Anto Narasoma” ini. “Unsur Feminimisme” ditulis Wiki adalah “serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan social”.

Jika dilihat dari Autobioigrafi Anto Narasoma yang merupakan salah satu wartawan senior dan Pemimpin redaksi di tahun 1998 tersebut,(Mohon maaf mengabaikan Historical Approach) tentu nya gerakan feminisme bagi dia adalah makanan keseharian, bahwa kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hal yang selalu terngiang di telinga dan juga menjadi narasi judul berita dan headline keseharian sebagai penanggung jawab produksi pemberitaan.

Pada baris, “Wanitaku adalah bunga-bunga kamboja
mekar bersama curah hujan yang tersenyum di balik Cintaku” terlihat bagaimana dia merangkai romansa suasana betapa indah nya “ Wanita” dan bersama “ Wanita” bahwa Wanita perlu disayangi, dan dengan gamblang saja Anto Narasoma menulis “ Bunga Kamboja Mekar Bersama Curah Hujan tersenyum dibalik Cintaku”.

Bahwa Imaginasi liar ada ketentraman ketika wanita dihargai dan didamba memberi tatapan/penilaian yang sama bahwa wanita tidak harus dibelenggu dan dijajah.

Harus diakui terdapat banyak tolak ukur feminisme ini yang hingga saat ini terus diperjuangkan dalam segala lini kehidupan baik di dunia barat bahkan juga di Indonesia ini, hingga saat ini.

Misalnya saja secara kehidupan politik prosentase keterlibatan perempuan, penegakan hukum (di Kepolisian) Di Pemda dan pemerintahan ada kementerian Urusan Perempuan, terlahir idenya pasca reformasi hingga hari ini.

Kesusastraan Agama

Seperti ditulis Abdul Wachid B.S dikutip dari laman https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3433

Dalam artikel diberi judul Perkembangan Manusia Modern dan Respon Sastra Keagamaan yang mana dalam artikelnya ini,  dia (Abdul Wachid B.S) mengatakan dengan mengutip Goenawan Muhammad yakni, “Saya kira prinsip ini sesuai dengan posisi sastra keagamaan itu dan fungsinya yang khusus: fungsi yang tidak bermaksud untuk mengislamkan pembaca atau mengkristenkannya, melainkan fungsi untuk membantu pembaca dalam menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya.

Dari sinilah mutu sastra keagamaan bisa kita perbaiki, sebab prinsip tersebut sesuai dengan kodrat kesusastraan, yakni demokratik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sastra keagamaan tidak identik dengan khotbah-khotbah yang dibungkus dalam sajak, novel ataupun reportoire” (Ed. Hoerip, 1982:145).

Sangat jelas bahwa unsur Keagamaan dalam “Wanitaku” Anto Narasoma tidak ditulis secara gambling oleh Bang Anto, bahwa bait dan baris tertentu sudah cukup mampu dia sampaikan bahwa Motif agamanya sang Penulis Puisi ini, misal nya seperti “Frasa Ibunda Hawa”, atau dalam Islam Siti Hawa ibunya para manusia tentunya hanya dengan keimanan dan kesadaran agama yang kuat, “Wanitaku” diciptakan oleh sang Penulis akan Awal penciptaan alam semesta, kisah kisah  keluar nya Nabi adam dan Siti Hawa Keluar dan diusir dari Surga dipisahkan lalu dipertemukan, yang menjadi salah satu nafak tilas rukun haji. Dan Bang Anto hanya cukup dengan satu Frasa saja “Ibunda Hawa”

Pada baris, “Suatu ketika, wanitaku akan lebur ke dalam waktu
ke dalam akad kematian yang berjajar di pemakaman”, bait tersebut sangat sangat kuat dengan motif agama Anto Narosoma.

Bahwa dari Abu Hurairah RA, berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Perbanyaklah kalian mengingat kepada sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu maut.” Ada juga hadits lainnya yang menyebutkan betap pentingnya mengingat kematian.

Dan bahkan dalam “Wanitaku” kata/diksi “Pemakam” (yang merupakan Simbolisasi Kematian, (mengingat Kematian orang yang selalu dalam keadaan sadar beragama)  Ditulis Sebanyak 2 (dua) kali,  oleh Anto Narasoma:

Pertama, “Suatu ketika, wanitaku akan lebur ke dalam waktu
ke dalam akad kematian yang berjajar di pemakaman”
dan Kedua, “suatu hari nanti wanitaku hilang nama, hilang rupa, ia gugusan tanah hitam dalam komplek pemakaman becek dan basah.

Serta Kata atau diksi kematian itu sendiri ditulis langsung dalam “Wanitaku Anto Narasoma” pada, “Suatu ketika, wanitaku akan lebur ke dalam waktu
ke dalam akad kematian yang berjajar di pemakaman”.

Pada akhirnya redaksi tidak bisa menarik kesimpulan sendiri sendiri, dan hanya para pembaca yang budiman lah yang bisa menilai jika “Unsur Feminisme Dan Motif Agama Dalam “ Wanitaku” Anto Narasoma” menjadi judul tulisan ini, dan  ini hanya keliaran analisa dangkal subjektif yang artinya masih perlu masukan dan input membangun dalam belajar menulis agar lebih baik lagi.(Arjeli Sy Jr)

Dibawah ini Puisi Karya Anto Narasoma, “Wanitaku”

http://103.119.60.156/wp-x/2020/09/04/wanitaku/

=Wanitaku=

Wanitaku adalah bunga-bunga kamboja
mekar bersama curah hujan yang tersenyum di balik Cintaku

Suatu ketika, wanitaku akan lebur ke dalam waktu
ke dalam akad kematian yang berjajar di pemakaman

lalu kutanyakan; di mana kesetian hidup yang kupersembahkan lewat tulang rusukku?

Wanitaku jasad di dalam sajakku
rumpun diksi dan bahasa kias tentang dia adalah ruang-ruang kelahiran diriku

ibunda hawa, ibuku dan istri tercinta, wanita dalam gelombang sejarah kehidupanku

suatu hari nanti wanitaku hilang nama, hilang rupa
ia gugusan tanah hitam dalam komplek pemakaman becek dan basah.

Palembang, 18 September 1998

 

Tinggalkan Balasan