Sumber PAD yang Membawa Petaka: Ancaman Angkutan Batubara di Perairan Sumsel
PALEMBANG, GESAHKITA COM—-Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sumatera Selatan yang meningkat dari sektor batubara menyimpan ancaman besar bagi masyarakat dan lingkungan. Dua insiden tragis dalam waktu berdekatan menjadi alarm bahaya yang selama ini diabaikan.
Pada 12 Maret 2025, tongkang batubara milik PT Bukit Prima Bahari menghantam rumah warga di Keramasan, Palembang. Tidak lama setelah itu, tongkang milik PT Tempirai menabrak Jembatan PTPN IV Kebun Bentayan di Banyuasin. Sebelumnya, pada 12 Agustus 2024, Jembatan Lalan di Musi Banyuasin ambruk akibat tabrakan tongkang batubara milik PT Santana Jaya.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Insiden-insiden ini memperlihatkan sisi gelap angkutan batubara di perairan Sumsel. Rumah warga hancur, infrastruktur vital rusak, dan masyarakat menanggung kerugian besar. Selain itu, gangguan terhadap jalur transportasi utama memperlambat distribusi hasil pertanian dan komoditas lainnya.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan oleh pemerintah daerah tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada transportasi sungai. Jalur distribusi yang terganggu menyebabkan harga bahan pokok naik, sementara perbaikan infrastruktur yang rusak membutuhkan anggaran besar yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Ancaman terhadap Lingkungan dan Kesehatan
Transportasi batubara di perairan Sumsel juga membawa dampak buruk bagi ekosistem sungai. Tumpahan batubara mencemari air, merusak habitat biota sungai, serta menyebabkan pendangkalan yang mengancam keberlangsungan ekosistem. Masyarakat yang terdampak langsung maupun tidak langsung mencakup:
Warga yang tinggal di sepanjang sungai yang dilalui tongkang batubara.
Penduduk yang bergantung pada sungai untuk air bersih dan mata pencaharian.
Wisatawan di sekitar Benteng Kuto Besar yang terpapar residu debu batubara saat tongkang melintas dari Pasar 16 hingga Bekangdam.
Kelemahan Regulasi dan Pengawasan
Meskipun sudah ada regulasi seperti Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Nomor 23 Tahun 2012, lemahnya pengawasan menyebabkan insiden terus berulang. Pelanggaran yang sering terjadi meliputi:
Pengoperasian tongkang di luar jam operasional yang ditetapkan.
Kelebihan muatan yang meningkatkan risiko kecelakaan.
Kelalaian operator dalam memastikan keselamatan transportasi.
Syahbandar, yang bertanggung jawab atas keselamatan transportasi perairan, dinilai gagal dalam pengawasan dan pengendalian. Di sisi lain, perusahaan batubara dan operator tongkang cenderung mengabaikan keselamatan publik serta regulasi lingkungan demi keuntungan semata.
Seruan untuk Evaluasi dan Tindakan Tegas
Menurut Bonie, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus segera melakukan evaluasi terhadap angkutan batubara di perairan. Dibutuhkan formulasi aturan yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih efektif untuk melindungi masyarakat serta lingkungan. Selain itu, tindakan tegas harus diberlakukan bagi operator nakal yang sering melanggar aturan.
Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab sosial serta lingkungan harus menjadi prioritas. Dengan pengelolaan yang lebih baik, PAD yang dihasilkan dari sektor batubara tidak lagi menjadi petaka, melainkan berkah bagi semua pihak.