MUARADUA, GESAHKITA COM–Bertepatan dengan Hari Pers Nasional(HPN) 2021, beredar tulisan seseorang di grup grup Whatsapp kalangan wartawan bercerita tentang gimik sudut sudut dunia profesi wartawan. Tulisan yang menghabiskan 302 kata sudah pantas untuk bisa diupload ke situs media online, itu pun jika mau..!. Artikel tersebut bagi kalangan wartawan sangat pas dengan kehidupan mereka, segala sisi sangat mirip sekali dengan dunia keseharian sepanjang waktu yang para wartawan jalani.
Profesi wartawan dikarakterisasikan oleh si penulis adalah wartawan yang sudah menjadi kepala keluarga. Pada bagian awal tulisan tersebut tampak seorang bapak yang kerja nya sebagai seoarng wartawan sedang menasehati anak nya. Disitu sang bapak tidak mau kelak anak nya mengikuti jejak langkah bapak nya itu yang merupakan seorang wartawan.
Penulis membandingkan profesi wartawan dengan profesi yang jauh lebih baik dari profesi seorang wartawan. Dari pandangan wartawan yang dikarakterisasikan oleh penulis tersebut bahwa wartawan itu kalah dibanding dengan 3 profesi yaitu, Politikus, ekonom dan dokter.
Nak, kamu tahu Bapakmu ini kerja jadi apa?
Ya, jadi wartawan. Kelak kalau Kau dewasa jangan milih kerja jadi wartawan. Cari saja kerjaan seperti politikus, ekonom atau jadi dokter. Pengusaha bagus juga. Yang penting jangan jadi wartawan. Ingat itu!
Penulis kemudian menggambarkan penghasilan seorang wartawan. Wartawan terkarakterisasi oleh penulis artikel tersebut pada bagian ini sebagai profesi yang tidak bisa menolong diri nya sendiri tetapi semua mahluk mampu dia tolong dengan karya jurnalistik para wartawan.
Meski begitu penulis juga menyelipkan bahwa wartawan juga manusia miliki imaginasi atau hayalan peroleh upah dan penghasilan yang mapan.
Penulis juga dengan jujur menyampaikan bahwa profesi apapun miliki resiko yang kali ini secara tersirat dia sampaikan kalau memilih profesi jadi wartawan ya begini lah, upah ya sebegitu dan berbaur nya dengan persoalan orang orang tertindas seperti itu.
Bapakmu kerja tidak jelas Nak. Urusan orang, negara, sampai urusan anjing lahir dibantu dan diberitakan. Tapi Bapakmu lupa urusan di rumah tidak pernah selesai.
Bayangkan, Bapakmu dukung kenaikan upah buruh, berhari-hari ikuti demo tapi upah Bapakmu tak pernah naik. Balik ke rumah token listrik bunyi.
Pada bagian ini, penulis artikel ini menggambarkan konflik dalam diri seorang wartawan yang dengan idealisme nya kerab kali berbenturan dengan lingkungan bahwa ada sebuah keadaan bahwa dunia wartawan yang menjujjung tinggi fakta dan kebenaran akan berurusan dengan arus deras dari sebuah kekuatan. Terdapat 3 diksi milenial menjadi kata kunci yang menggelitik, liputan Konflik, buzzer dan hancur kamera.
Besoknya, Bapakmu ikut liputan konflik. Tapi Bapakmu dihina juga, dianggap buzzer atau pendukung penista. Bahkan didorong sampai mau ambruk. Bapak hanya diam. Karena tahu kalau melawan akan hancur ini badan sama kamera.
Padahal kerja Bapakmu ke sana-ke sini, demi dapat informasi buat masyarakat loh. Tapi sialnya para buzzer yang jualan info sesat, Bapakmu yang ketiban hinaan orang. Diserang, hampir mau dipukulin bahkan dianggap resek.
Selajutnya, penulis artikel juga memunculkan lagi seolah olah narasi yang keluar dari mulut seorang ayah ke anak nya, “Nak jangan jadi wartawan Nak” kalimat itu jenis imperative atau larangan bagi seorang ayah yang mewanti (warning) kepada anak nya tapi ada uraian argumentative.
Namun begitu pada bagian ini satire (sindiran) saat ini yang dihadapi wartawan adalah bagaimana serangan medsos yang membabi buta, tusukan tusukan medsos yang tanpa proses editing, tanpa memperhatikan kode etik jurnalistik semena mena sebarkan apa saja malah lebih mudah ditelan mentah mentah oleh pengguna medsos dan wartawan hampir tak dibutuhkan lagi.
Kata kata keji ‘PSK’ yang penulis artikel tersebut pakai dan muncul pada artikel nya ini adalah pelacur yang suka menjajahkan diri, terlalu memuji berlebih lebihan karena persaingan serta intervensi bisnis media versus dapur redaksi yang tak kunjunng berdamai.
Nah kemudian terserah anda saja mau meinterprestasikan artikel tersebut seperti apa serta pendekatan apa saja yang inti nya pada HPN 2021 ini ceremony nya Pers kita ini. Evaluasi tulisan hebat ini cukup menghibur serta mengingatkan serta memastikan para wartawan, Benar gak seh kalian wartawan seperti ini sebagai seorang bapak dan apa lagi?
Nah singkat nya silahkan baca lebih lanjut dibawah ini:
Nak jangan jadi wartawan Nak.
Kemarin Bapakmu kerja tunggu sidang. Difoto sama orang, dimasukin fesbuk, terus dan terus disebut buzzer dan dihina seperti PSK.
Ngeri loh Nak kerja jadi wartawan. Apalagi saat ini banyak media abal-abal bikin berita bohong demi dapat klik dan bisnis, plus ditambah kebencian umat tertentu terhadap media.
Bapakmu itu hidup di keriuhan tiap hari, tapi pas balik ke rumah jadi petapa. Diam pikir kondisi negara. Konflik di mana-mana. Kamu itu sekarang diwarisi kebencian sama mereka.
Jangan jadi wartawan Nak. Nyawamu ada di tulisan dan fotomu.
Tapi ingat, Bapakmu bisa kaya kalau mau jual idealisme dengan lupa etika profesi. Tapi Bapak tidak mau.
Sudahlah, yang penting jangan jadi wartawan.
Jadilah pawang hujan atau panghulu saja Nak. Kamu bakal diorder orang hajatan sama nikah tiap waktu. Apalagi kalau kamu dapet order dari klub sepakbola, dahsyat itu.
Kerja tidak berisiko itu.
Kalau panas sukses.
Kalau hujan ya tinggal bilang, alam tidak bisa dilawan…
Selamat Hari Pers
#selamatharipers_nasional(HPN)
editor : Arjeli Sy jr