Berita hari ini, Situs terpercaya dan terupdate yang menyajikan informasi kabar harian terbaru dan terkini indonesia.
Indeks
hut ri hut ri grand fondo

Begitulah Menulis…

Mustaqiem Eska

TIMIKA, GESAHKITA.com–Saat-saat dimana terkadang harus menahan diri untuk tidak menulis. Mengapa bisa, bukankah ketika mood itu datang, konon adalah percikan surga yang menyemburat dari langit, tentu sayang jika dilewatkan.

Akan tetapi ternyata tidak semua rasa itu langsung bisa disyarahkan. Justru yang terasa berat adalah ketika pikiran-pikiran yang hendak menuangkan setiap inspirasi memang -dipertimbangkan– tidak untuk ditulis.

Diam dan mengendap dirasa. Biasanya, situasi seperti ini akan melahirkan gelisah dan puncaknya -jika kalah bertahan- akan tertulis juga.

Semisal tentang duka. Bagi penulis yang telah menghapus setiap kamus tentang duka dan segala anak keturunannya : sedih, gelisah, putus asa, jengkel, dendam, benci, sakit hati, patah hati, terluka, kehilangan, kecewa, susah, menyesal, murung, dan segala macam ragam anak keturunannya, tentu sangat alergi.

Biasanya mendengarnya pun begitu tak berhajat. Tipikal yang seperti ini biasanya tampak pada karya-karya tulis yang selalu bernada positif dan optimis.

Apalagi aku merasakan betapa sebuah kata itu sesungguhnya adalah mantra. Maka begitu hati-hati dan penuh pertimbangan yang sangat ketat ketika menentukan sebuah diksi yang akan dikembangkan.

Apapun tulisan adalah “doa yang tersirat.” Aku menyakini itu.

Bagi penulis, dalam bentuk apapun tentu akan mengalami betapa sebuah tulisan itu bisa “hidup” dan menjelma pada kisah nyata.

Ketika awal-awal saya belajar menuangkan kata, ohhh begitu liar dan suka-suka.  Apalagi ketika sudah dirasuki oleh “makhluk” yang bernama sastra dan filsafat, hemmm serasa mabuk dalam kalimat.

Tak bisa dipungkiri  proses memang harus terjadi. Dari sana, ibarat makanan, bumbunya berasa.

Memang sangat berbeda mendekatkan setiap warna tulisan dari segala macam ragam penulisnya. Ada yang memang murni ilmiah, ia bisa berbentuk artikel, riset, atau karya tulis ilmiah layaknya tesis.

Selain itu, ada juga tulisan ringan meski serius (semi ilmiah) berbentuk essay, kolom, cerita dan sejenisnya. Rata-rata masing-masing penulis memiliki karakter tersendiri dalam setiap karyanya.

Latar belakang hidup, pendidikan, keluarga, atau lingkungan sosialnya yang biasa membentuknya.

Jika J.K. Rowling misalnya menulis cerita Harry Potter karena selalu ditagih anaknya atas kelanjutan dongeng yang ia karang untuk bekal dongengan bagi anaknya setiap menjelang tidur agar tak terlupa, maka ketekunannya dalam mengumpulkan hasil cerita khayalannya itulah yang -tak terduga-.

Saat ini siapa yang tak kenal Harry Potternya J.K.Rowling. Film dan novelnya selalu diserbu. Novelnya terlaris di dunia. Ia lah seorang ibu yang menghasilkan miliaran dolar Amerika dari karyanya.

Tapi pernahkah terbayang, kalau sesungguhnya ia berangkat dari ‘loro lopo.  ‘ Sebelumnya ia sangat miskin, hingga pemerintah Inggris menyantuninya.

Ada juga sosok tukang setrika dari sebuah perusahaan binatu bernama Stephen King yang diluar dugaan malah menjelma menjadi seorang penulis.  Novelnya terjual lima juta eksemplar, dan menjadi film yang paling meraup keuntungan.

Awalnya ia adalah seorang pengontrak ruang kecil mepet dapur dan wc, gajinya cuma $60 seminggunya. Hemmm… bisa dibayangkan bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan hidup ditambah anak bayinya yang terkena infeksi telinga. Hingga ia harus jual segala perabot yang ada untuk menebus obat bagi anaknya.

Tapi begitulah menulis, pekerja binatu ini sempat putus asa karena naskahnya selalu ditolak. Tetapi bersyukur ia memiliki istri yang tabah dan selalu memotifasinya.

Alhasil ia bangkit dan terus berkarya. Kini ia telah membuktikan, bahwa menulis itu sangat berharga.  Ada juga penulis hebat anak bangsa layaknya Hamka, kisahnya diabadikan dalam film novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Tentu tak sampai sepersis kisahnya. Namanya saja film. Tapi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah Hamka. Dan tafsir Al-Azhar yang dihasilkan dari balik penjara adalah caranya menikmati kesepian.

Begitulah menulis. Masing-masing menemukan pemandangan dan iramanya tersendiri.  Ada yang menulis karena membaca. Ada yang menulis karena jatuh cinta. Dan ada juga yang menulis karena terluka.

Ahhh namun itu kan hanya alasan pemantik saja. Pastinya menulis akan menjadi indah jika selalu bersama-Nya, itu yang aku rasa.

(tmk, 6/5/2020)l

Tinggalkan Balasan