JAKARTA, GESAHKITA COM–Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan tugasnya dengan bertitik tolak pada beberapa ciri pemikiran.
Pemikiran Manusia Kenyataan nya Beragam, namun bisa dicirikan dengan berbagai pola pula.
Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir. Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud dapat dikategorikan sebagai berfilsafat.
Ciri pemikiran filsafat pertama-tama harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi belaka.
Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum).
Ciri pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.
Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu kritis (critics) dan krisis (crycis).
Berpikir kritis (critics) artinya, berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan atau menyesuaikan diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang (termasuk dalamnya dogma atau ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apa pun) sebagaimana apa adanya.
Justru, inti dari ciri pemikiran filsafat yang kritis (critics) ini adalah berpikir dalam rangka mengkritik, meragukan, dan mempertanyakan segala sesuatu, sampai mencari dan mendapatkan dasar-dasar pertanggungjawabkan intelektual atau argumentasi-argumentasi yang mendasarnya yang tidak mungkin dapat diragukan atau dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan kapan pun.
Filsafat, dengan pemikiran kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan pengkajian, penelitian secara mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau kebenaran sesungguhnya yang dicari.
Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak kesalahan tetapi mempertanyakan mengapa orang bisa melakukan kesalahan dalam berpikir?.
Immanuel Kant yang terkenal sebagai bapak filsuf kritis menyebut rasio kritis ini sebagai “kritik rasio murni” (Critics ratio vernun).
Pemikiran filsafat yang berciri “rasio kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah pemikiran yang umum (common sense), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan, kekeliruan, atau kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik kesimpulan-kesimpulan pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistim pemikiran atau sistim keyakinan.
Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir dialogis atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan kritis” yang dengannya, orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan umum.
Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis.
Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan budaya.
Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis (penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang cenderung mendistorsi akal sehat manusia.
Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan.
Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawabkan yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan itu sendiri.
Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan.
Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha meletakan dasar dan strategi bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis.
Justru, ia selalu berusaha membangun ketajaman budi untuk mampu mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral.
Ciri pikiran filsafat tersebut mengandalkan sebuah kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.
Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis).
Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar.
Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang tertib, bertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.
Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat.
Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum.
Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensi yang khas manusiawi.
Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit.
Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh.
Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri.
Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya.
Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.(**)