selamat idul fitri selamat menunaikan ibadah puasa selamat menunaikan ibadah puasa selamat menunaikan ibadah puasa hari jadi kota pasuruanisra miraj hut oku selatan, hari jadi oku selatan
World  

Nikel Asia Tenggara: Episentrum Rivalitas AS dan Tiongkok, Filipina dan Indonesia yang Menentukan

Nickel mine in Sulawesi, Indonesia. FOTO credited Asiatoday

Nikel Asia Tenggara: Episentrum Rivalitas AS dan Tiongkok, Filipina dan Indonesia yang Menentukan

JAKARTA, GESAHKITA COM– Komoditas nikel Asia Tenggara yang menjadi bahan baku utama kendaraan listrik global kini menjadi episentrum persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Untuk mencegah China mendominasi industri pengolahan nikel di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, AS telah merintis kerja sama trilateral dengan Filipina dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan, atau Australia di industri pengolahan nikel.

Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah pengaturan trilateral di mana Filipina akan memasok bahan mentah nikel, AS akan menyediakan pembiayaan, dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan atau Australia akan menawarkan teknologi yang diperlukan untuk peleburan dan pemurnian, menurut sumber yang mengetahui hal tersebut.

Pembicaraan AS dengan Filipina produsen nikel tambang terbesar kedua di dunia setelah Indonesia  masih dalam tahap awal, dan elemen-elemen penting dari setiap kesepakatan potensial masih harus diselesaikan, termasuk apakah AS dapat memenuhi pembiayaan tersebut, kata sumber tersebut, yang diminta untuk tidak disebutkan namanya.

Dalam konteks ini, posisi Indonesia dan Filipina sangat menentukan. Bagi Indonesia, langkah AS ini menjadi catatan khusus.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara besar, tidak ada negara yang bisa mendikte.

“Mengapa kami takut? Kita negara besar, ingat Indonesia negara besar. Tidak ada yang bisa mendikte kami,” kata Luhut di Jakarta, Jumat, 3 Mei 2024.

Luhut mengatakan, pemerintah akan melawan negara-negara yang menghambat Indonesia. Apalagi Indonesia juga mempunyai hak sebagai negara maju.

“Tidak ada yang bisa mendikte Indonesia. Indonesia negara besar,” kata Luhut.

Luhut juga menegaskan, Indonesia tidak lagi mengekspor bahan mentah seperti bijih nikel. Hal ini dilakukan agar Indonesia dapat merasakan nilai tambah dari hilirisasi nikel.

Tanpa Nikel Indonesia, Pasar EV AS Jatuh

Sebelumnya, Luhut mengatakan tanpa nikel Indonesia, pasar kendaraan listrik AS akan terpuruk. Pasalnya, Indonesia mempunyai cadangan logam terbesar di dunia. Hal tersebut ditulis Luhut dalam artikel kolom yang dimuat situs majalah Foreign Policy asal Amerika Serikat bertajuk “Tanpa Nikel Indonesia, EVs Tak Punya Masa Depan di Amerika” pada 1 Mei 2024.

“Beberapa anggota Kongres AS bekerja sama dengan kompetitor asing asal Indonesia memutuskan untuk memblokir impor nikel olahan dari Indonesia. Adapun saat ini memaksa perusahaan-perusahaan di sana untuk beralih dari menjual kendaraan berbahan bakar gas, ujung-ujungnya yang dirugikan adalah para pekerja otomotif AS, ”tulis Luhut.

Luhut melanjutkan, keberatan para senator cenderung tertuju pada isu lingkungan hidup karena banyak smelter di Indonesia yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.

Bagi beberapa anggota Kongres, hal ini kurang dapat diterima meskipun terdapat manfaat karbon bersih dari penghentian penggunaan mesin pembakaran di jalan raya. Menurut Luhut, cara pandang seperti ini pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri.

“Agar pengurangan emisi di Amerika menjadi signifikan, masyarakat Amerika harus menggunakan lebih banyak kendaraan listrik. Sektor transportasi adalah penghasil emisi terbesar di negara ini, sementara saat ini kurang dari satu persen kendaraan di AS adalah kendaraan listrik. Adopsi secara luas akan bergantung pada keterjangkauan, kata Luhut.

Luhut juga mengatakan nikel Indonesia bisa menjadi lebih ramah lingkungan. Namun agar hal ini terwujud, pembangunan ekonomi melalui penerimaan ekspor atau penanaman modal asing sangat penting.

“Ada juga inisiatif pemerintah mengenai batasan dan pajak atas emisi karbon yang akan diterapkan tahun ini, dan pada saat yang sama pembangkit listrik tenaga batu bara baru telah dilarang. Namun transisi hijau di Indonesia pada akhirnya bergantung pada modal,” kata Luhut.

Luhut mengatakan, kekhawatiran anggota parlemen AS terhadap lingkungan hidup atas usulan perjanjian perdagangan bebas juga didukung oleh ketegangan antara Beijing dan Washington. Perusahaan China hadir dalam pemurnian nikel di Indonesia. Namun, hal yang sama juga terjadi pada perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan bahkan Amerika.

“Jika AS memutuskan untuk menerapkan larangan menyeluruh terhadap nikel Indonesia hanya karena kehadiran negara-negara lain dalam industri ini, tindakan tersebut akan bertentangan dengan jaminan Menteri Keuangan AS Janet Yellen bahwa sekutu AS di Indo Pasifik tidak boleh dipaksa untuk menerapkan larangan tersebut. memilih antara Tiongkok dan AS. Nantinya nikel Indonesia akan diekspor ke suatu tempat,” kata Luhut.

Luhut menegaskan, Indonesia ingin bermitra dengan semua pihak.

“Terserah Washington apakah mereka ingin berjabat tangan untuk menciptakan masa depan yang lebih hijau. Namun negara saya tidak akan menunggu tanpa batas waktu,” kata Luhut. (Jaringan AT)